Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sistem Informasi Bencana Yogya Dinilai Amburadul  

Editor

Sunu Dyantoro

image-gnews
Gunung Merapi dilihat dari dusun Kalitengah Lor masih mengeluarkan asap putih setelah hujan abu di kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman, Yogyakarta, Senin (22/7). TEMPO/Suryo Wibowo
Gunung Merapi dilihat dari dusun Kalitengah Lor masih mengeluarkan asap putih setelah hujan abu di kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman, Yogyakarta, Senin (22/7). TEMPO/Suryo Wibowo
Iklan

TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Daerah Istimewa Yogyakarta Herry Zudianto mengatakan efek negatif banjir informasi bencana mulai tampak di DIY. Menurut dia, kemunculan fenomena ini beriringan dengan bangkitnya kesadaran masyarakat untuk menginformasikan bencana dan kemajuan pemanfaatan teknologi informasi. "Banyak informasi sampah di Twitter," kata dia di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM pada Selasa, 4 Maret 2014.

Herry mengeluhkan fenomena ini saat menghadiri peluncuran sistem informasi bencana yang dikembangkan tim dari Institute of International Studies (IIS UGM), Osaka University, Jepang, dan PT Gamatechno. Sistem bernama W-DIPS (wide-view disaster information and prediction system) itu berfungsi mengelola informasi mengenai bencana dari relawan. Penyuplai informasi harus mengoperasikan aplikasi di ponsel pintar untuk mengirim data.  

Mantan Wali Kota Yogyakarta ini khawatir sistem berbasis sinyal teknologi generasi ketiga (3G) itu kurang memberikan manfaat apabila sembarangan merekrut relawan. Padahal, penerapannya berpotensi memudahkan penanggulangan bencana dan distribusi bantuan secara cepat dan akurat. "Kemampuan warga mengakses teknologi informasi sudah maju, tapi kesadaran tanggung jawab moralnya masih kurang," kata Herry.

Dia mencontohkan, salah satu risikonya, kepentingan pribadi penyuplai informasi mudah mempengaruhi kualitas data. Hal ini mudah terjadi terutama apabila berkaitan dengan suplai bantuan ke kawasan terdampak bencana. "Bisa-bisa lebih banyak diarahkan untuk kepentingan individu masing-masing," katanya.

Herry berpendapat, pengumpulan informasi bencana lebih terjaga validitasnya ketika memakai relawan wakil institusi resmi semacam PMI, Tim Search and Rescue, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan beragam organisasi masyarakat. Pengumpulan informasi kebencanaan juga bisa memakai jasa pejabat struktural di level rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). "Pemberi informasi akan lebih bertanggung jawab," katanya.    

Ketua Bidang Program Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY Krisnadi Setyawan menyatakan dalam satu tahun terakhir ini anggota TRC BPBD DIY sudah dua kali menemukan informasi palsu mengenai pendaki yang tersesat di Gunung Merapi. "Ini menyita energi kami karena harus susah payah menangani info kasus hoax," katanya. 

Menurut Krisnadi, kebanyakan masyarakat penyuplai informasi juga belum memahami peristiwa yang bisa dianggap sebagai akibat bencana atau bukan. TRC BPBD DIY sering menerima informasi kasus kecelakaan lalu lintas dan terpaksa menanganinya meskipun bukan bidang kerjanya, dengan alasan kemanusiaan. "Contoh lain, info banjir, yang ternyata itu rutinan sebentar, akibat kondisi geografis kawasan dan sebenarnya bukan masalah bagi warga," katanya.

Hal ini dipengaruhi euforia kerelawanan yang memicu banyak penduduk gemar mengirim informasi tentang bencana. Selama ini, setiap hari puluhan hingga ratusan informasi masuk ke TRC BPBD DIY melalu media sosial, telepon, dan saluran radio amatir. "Sering kali jumlah informasinya melebihi kapasitas kami, tapi banyak yang susah diklarifikasi kebenarannya," katanya. 

Dalam kasus bencana lahar dingin sepanjang musim hujan tahun ini, sudah beberapa kali muncul info tidak akurat. Penyebabnya, pemberi informasi kurang cermat menganalisis data dari sensor-sensor yang masih sederhana. "Seperti sensor dari batu yang bergerak, bukan karena aliran sungai tapi ulah orang," katanya.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Informasi yang datang paling banyak dari saluran radio amatir. Masalahnya, dia melanjutkan, jejaring relawan TRC BPBD DIY kerap menerima data dari kolega di komunitasnya yang kurang valid. "Untuk penyaringannya susah," ujarnya.

Sebenarnya, di media sosial, informasi lebih mudah diklarifikasi karena penyaringan bisa dilakukan lewat identifikasi gambar. Namun, menurut dia, ada banyak data yang sebenarnya masih dalam klasifikasi rahasia justru terlempar ke publik.

Koordinator Proyek Kerja Sama antara IIS UGM dan tim dari Osaka University, Maharani Hapsari, berpendapat persoalan validitas informan di sistem W-DIPS memang problematis. Dia mengatakan tim perancang W-DIPS sudah menyiasatinya dengan mewajibkan penyuplai informasi memasukkan kode kartu tanda penduduk (KTP) ketika mendaftar sebagai anggota relawan di sistem ini lewat aplikasi ponsel pintar. "Tapi, agar efektif, tetap harus berintegrasi dengan instansi seperti PMI, BPBD, dan lembaga pengelola data kependudukan," katanya.

Menurut dia, sistem ini bermanfaat apabila berfungsi sebagai pelengkap mengingat jangkauan sinyal 3G belum mencakup semua wilayah di DIY sekali pun. Fungsinya dipakai sebagai alat mengevaluasi program penanganan pascabencana.

Pengoperasiannya, dia melanjutkan, bermanfaat di DIY apabila jumlah relawan sudah mencapai 10 persen dari keseluruhan penduduk yang persebaran lokasinya merata. Sistem ini bisa mengolah data bencana dan secara cepat menampilkannya dalam bentuk peta wilayah. "Kalau sudah jalan, berpeluang diterapkan sebagai sistem nasional," katanya.

ADDI MAWAHIBUN IDHOM

 
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Mahasiswa Unnes Ciptakan Alat Pemantau Longsor di Banjarnegara

7 Maret 2022

Mahasiswa Universitas Negeri Semarang berhasil menciptakan alat pemantau longsor. Foto : UNNES
Mahasiswa Unnes Ciptakan Alat Pemantau Longsor di Banjarnegara

Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) menciptakan alat pemantau longsor. Alat tersebut sudah dipasang di Banjarnegara.


Longsor Banjarnegara, 4 Orang Ditemukan Tewas

20 November 2021

Sejumlah warga menyaksikan jalan raya yang ambles di lokasi bencana longsor di Desa Clapar, Madukara, Banjarnegara, Jateng, 30 Maret 2016.  Berdasarkan pantauan BPBD, longsoran diperkirakan sudah bergerak sejauh 2-3 kilometer dari ujung hingga bawah dan dikhawatirkan akan semakin meluas. ANTARA/Anis Efizudin
Longsor Banjarnegara, 4 Orang Ditemukan Tewas

Longsor Banjarnegara pada Jumat malam menimpa dua rumah warga.


Longsor di Banjarnegara Disebabkan Tanggul Irigasi Jebol

2 November 2019

Ilustrasi longsor. shutterstock.com
Longsor di Banjarnegara Disebabkan Tanggul Irigasi Jebol

Longsor ini menyebabkan dua rumah tertimbun dan satu orang meninggal.


Longsor di Banjarnegara, Satu Orang Meninggal Dunia

2 November 2019

Ilustrasi longsor. shutterstock.com
Longsor di Banjarnegara, Satu Orang Meninggal Dunia

Retakan tanah tersebut berlokasi di sebelah timur rumah yang kemudian tertimbun longsor.


Longsor di Banjarnegara 1 Orang Tewas

25 September 2016

TEMPO/Budi Purwanto
Longsor di Banjarnegara 1 Orang Tewas

Rumah itu tertimpa reruntuhan tanah dan menewaskan satu orang dan delapan anggota keluarga lainnya luka-luka.


3 Warga Banjarnegara Jadi Korban Longsor Susulan

19 Juni 2016

Jalan menghubungkan Kecamatan Madukoro-Pagentang, Banjarnegara, Jawa Tengah, rusak dan retak akibat tanah longsor, 27 Maret 2016. Longsor yang terjadi secara merayap dan perlahan seluas lima hektare, mengakibatkan 196 rumah warga rusak dan 14 diantaranya rusak berat. TEMPO/Irsyam Faiz
3 Warga Banjarnegara Jadi Korban Longsor Susulan

Ketiga korban sedang membersihkan longsor saat terjadi
longsor susulan.


Longsor Banjarnegara, Enam Korban Sudah Dimakamkan

19 Juni 2016

ANTARA/Agus Bebeng
Longsor Banjarnegara, Enam Korban Sudah Dimakamkan

Korban meninggal di Grumbul Wanarata disebabkan tertimbun material longsor susulan saat sedang bekerja bakti menyingkirkan longsoran.


Longsor di Banjarnegara, 6 Warga Meninggal

19 Juni 2016

Warga bersama relawan bergotong royong membuat saluran air di lokasi bencana longsor dan tanah bergerak di Desa Clapar, Madukara, Banjarnegara, Jateng, 31 Maret 2016. Sedikitnya 21 rumah roboh, serta ratusan lainnya  terancam roboh. ANTARA/Anis Efizudin
Longsor di Banjarnegara, 6 Warga Meninggal

Enam orang yang meninggal sudah dievakuasi, sementara satu korban masih dalam pencarian.


Darurat Longsor Banjarnegara Berakhir, Potensi Lonsor Masih Ada

13 April 2016

Jalan menghubungkan Kecamatan Madukoro-Pagentang, Banjarnegara, Jawa Tengah, rusak dan retak akibat tanah longsor, 27 Maret 2016. Longsor yang terjadi secara merayap dan perlahan seluas lima hektare, mengakibatkan 196 rumah warga rusak dan 14 diantaranya rusak berat. TEMPO/Irsyam Faiz
Darurat Longsor Banjarnegara Berakhir, Potensi Lonsor Masih Ada

Potensi longsor masih ada apabila curah hujan tinggi.


Longsor Banjarnegara, Warga Kuras Kolam Ikan  

31 Maret 2016

Jalan menghubungkan Kecamatan Madukoro-Pagentang, Banjarnegara, Jawa Tengah, rusak dan retak akibat tanah longsor, 27 Maret 2016. Longsor yang terjadi secara merayap dan perlahan seluas lima hektare, mengakibatkan 196 rumah warga rusak dan 14 diantaranya rusak berat. TEMPO/Irsyam Faiz
Longsor Banjarnegara, Warga Kuras Kolam Ikan  

Longsoran diperkiraan sudah bergerak sejauh 2-3 kilometer dari ujung hingga bawah. Sedang lebar longsoran 100 -200 meter.