TEMPO.CO, Jakarta - Panel-panel kayu yang sudah usang dengan warna hijau, biru muda, dan merah marun terhampar menjadi lantai. Kelirnya sudah terkelupas, tanda usia kayu tak muda lagi. Dulunya, lantai kayu itu adalah bahan yang merakit perahu nelayan. Namun kini kayu warna-warni tersebut dipindahkan ke darat, yakni di sebuah pusat perbelanjaan di Ibu Kota.
Lantai kayu itulah yang mengubah wajah kedai kopi Starbucks Reserve di Lobi Amarta, Grand Indonesia, Jakarta. “Konsep yang ingin kami usung adalah suasana Pelabuhan Sunda Kelapa,” ujar Marketing Communication Manager Starbucks Yuti Resani kepada Tempo, Kamis, 20 Maret 2014.
Maka tak heran jika ada banyak sekali warna cokelat "telanjang" kayu tumpah di ruangan kedai ini. Ada juga bahan karung goni yang menjadi penutup lampu yang digantungkan di beberapa sudut. Suasananya mirip seperti pelabuhan. Tentu tanpa lautan, semilir angin, dan kuli-kuli panggul.
Kami—saya dan Yuti—berbincang setelah gerai perdana Starbucks Reserve ini dibuka. Ini sebenarnya bukan toko terbaru kedai kopi berlambang ikan duyung bermahkota itu. Karena di tempat yang sama, dua bulan sebelumnya, mereka masih buka secara reguler. Namun dua bulan terakhir, kedai kopi yang menjadi pilihan tempat nongkrong itu ditutup dengan papan karena tengah bersalin muka.
Starbucks Reserve Grand Indonesia menjadi gerai pertama dengan logo "Reserve" di Indonesia. “Gerai Reserve sebelumnya sudah dibuka di Korea Selatan, dan sudah banyak di Amerika Serikat,” ujar Yuti. Di Malaysia, gerai semacam ini belum dibuka.
Apa bedanya Starbucks Reserve dengan Starbucks biasa? “Bedanya ada pada jenis kopi yang dijual, dan 'Starbucks Experience' yang diberikan,” kata Yuti. Menurut dia, gerai Starbucks Reserve menjual kopi hitam eksotis langka yang diproduksi secara terbatas. “Itu di luar minuman-minuman lain yang biasanya memang ada di Starbucks,” katanya.
Ini berarti Anda masih bisa menemukan green tea latte ataupun hazelnut dan minuman manis lainnya di luar black coffee. Jangan khawatir, harga minuman standar di gerai Reserve sama dengan banderol di gerai biasa. Itulah yang disampaikan Yuti kepada saya.
Ada tiga jenis kopi hitam yang dijual sejak hari pertama pembukaan gerai Reserve, yaitu: Sun Dried Ethipia Yirgacheffe, Finca Nuevo Mexico, dan Sumatra Lake Toba—khusus yang terakhir ini sengaja diproduksi untuk pembukaan gerai Reserve yang menggunakan logo huruf R dan bintang terpisah dengan garis horizontal ini.
Bagi Anda yang sudah terbiasa dengan kopi arabika Sumatera—yang banyak dijumpai di Indonesia—tentu akrab dengan rasanya yang sangat pahit dan kuat. Biji kopi asal Dolok Sanggul, Sumatera Utara, dekat dengan Danau Toba, ini dikumpulkan dari beberapa dusun di daerah itu.
Untuk itu, tidak ada salahnya jika sekali-kali Anda mencoba kopi lainnya dari Afrika dan juga Amerika Tengah tadi. Keduanya punya cita rasa yang unik. Ethiopia Yirgacheffe, misalnya, merupakan kopi yang memiliki rasa asam, sedikit manis, dan tekstur rasa pahit ataupun aroma kopi yang seimbang.
Rasa sepat dari kopi Ethiopia ini didapatkan karena buah kopi itu dijemur secara telaten sejak dipetik untuk mendapatkan kematangan yang sama. Buah kopi itu menghitam dan menyusut melapisi biji kopi di dalamnya, dan menghasilkan rasa buah tadi. Kopi ini mungkin cocok untuk Anda yang trauma atau kaget dengan kopi pahit yang bisa membikin Anda melek.
Sedangkan Finca Nuevo merupakan kopi asal Meksiko yang dikembangkan oleh keluarga Baumann—asal Jerman dan bermukim di Meksiko sejak 1926—dengan perkebunan terbatas seluas 100 hektare dari 300 hektare tanah milik mereka. Sisa tanah yang tidak ditanami itu dibiarkan menjadi zona batas dengan cagar alam. Kopi ini punya cita rasa lebih masam dan teksturnya lebih ringan. Ada rasa asam jeruk dan juga manis gula merah dalam secangkir kopi tadi.
Tapi, Yuti mewanti-wanti, jenis kopi itu belum tentu bisa dicicipi kapan pun. “Karena stoknya memang terbatas. Jadi kalau habis, ya, tidak ada lagi. Ini kan memang seasonal,” ujarnya. Harga kopi langka ini juga berbeda dengan kopi biasa, karena kelangkaannya itu.
Selain adanya kopi yang langka, para barista yang melayani Anda pun bisa dibilang makhluk "langka". “Mereka adalah para master coffee yang sudah melalui berbagai tahapan pendidikan soal kopi,” kata Yuti. Ini berarti Anda hanya akan menemukan barista dengan apron hitam—tanda para master di sini.
Mereka pun siap memberikan saran soal penyajian kopi yang baik sesuai dengan karakteristiknya. “Kalau Yirgacheffe, lebih baik disajikan dingin, rasanya lebih enak,” kata Ryan, salah satu master coffee yang saya temui. Dia bakal menanyakan rasa kopi yang diseduh dengan metode pour over—diseduh dengan penampang khusus dengan takaran biji kopi tertentu dan juga air dalam suhu yang pas setelah Anda menyesapnya. Mungkin itu yang disebut oleh Yuti sebagai '"Starbucks Experience" tadi.
Maka, Starbucks Reserve pun mulai menggiling biji-biji kopi di atas perahu nelayan yang sudah menjadi lantai tadi. Director of Starbucks Indonesia Anthony Cottan memulai gilingan kopi pertamanya di toko itu.
Menyudahi obrolan saya dengan Yuti, saya masih menyesap Yirgacheffe dari Ethiopia tadi, dengan rasanya yang masam, dan tidak terlalu pahit. Mata saya menatap lantai dan teringat bahwa perahu-perahu yang kini sudah dipotong-potong jadi tegel ini sebelumnya pernah berjasa menjadi sandaran hidup para nelayan. Kopi seperti apakah yang mereka minum? Mungkinkah kopi dari Afrika yang saya minum ini pernah mereka cicipi?
SUBKHAN