TEMPO.CO, Jakarta - Budayawan Remy Sylado mengkritik langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengganti kata Cina menjadi Tiongkok. Menurut dia, istilah Tiongkok malah lebih berbau politis dibandingkan kata Cina.
"Ini menunjukkan SBY tidak memahami sejarah bahasa, penggunaan kata Tionghoa malah menimbulkan kesan eksklusif," ujar Remy ketika ditemui di Salemba, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 29 Maret 2014.
Baca Juga:
Menurut dia, kata Cina sudah digunakan di Indonesia jauh sebelum istilah Tionghoa atau Tiongkok dikenal. "Sejak dulu, nenek moyang kita sudah menggunakan kata Cina dan ada berbagai entri bahasa Indonesia yang menggunakan kata itu," Remy menjelaskan. Dia kemudian menyebut kata seperti pacar cina, tinta cina, dan petai cina, yang umum digunakan tanpa konotasi negatif.
Ada pula peribahasa yang berarti positif, seperti "kejarlah ilmu sampai ke Cina". Selain itu, Remy menyebutkan peribahasa Melayu "jangan ajari Cina menjahit". "Artinya, jangan mengajari orang pintar, itu kan penggunaannya positif," ujarnya.
Istilah Tionghoa, menurut Remy, pertama kali digunakan di Indonesia oleh gereja Protestan Calvinis pada abad 19. Pada perkembangannya, pada tahun 1901 didirikanlah perkumpulan Tionghoa untuk menyatukan orang Cina pendatang dan Cina peranakan di Indonesia.
Kemudian, perkumpulan itu berganti nama menjadi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). "Namun pada akhirnya Baperki berkiblat ke komunis, di sini akhirnya Tionghoa jadi berkonotasi komunis," katanya.
ANGGRITA DESYANI