TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengatakan pemerintah Indonesia harus mencabut hukuman mati jika menginginkan warganya tidak dieksekusi mati di negara lain. Menurut dia, ketika pemerintah sudah tidak menerapkan hukuman mati, kebijakan tersebut akan menjadi modal awal untuk melobi negara lain.
"Ribuan orang dihukum mati di negara lain, kita selalu berteriak 'jangan'. Tapi di Indonesia sendiri masih berlaku hukuman mati. Ini sebuah kontradiksi ," kata Natalius ketika dihubungi, Ahad, 30 Maret 2014.
Tahun ini puluhan warga Indonesia menanti hukuman mati di Arab Saudi. Jika hendak lolos dari eksekusi, mereka harus membayar uang pengganti (diyat).
Langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk membantu mereka, ujar Natalius, adalah mencabut pasal hukuman mati di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. "KUHP sekarang sedang direvisi, kesempatan ini harus dimanfaatkan," katanya. Tujuannya, agar Indonesia menjadi negara yang menghormati hak hidup manusia.
Ketika sudah menolak hukuman mati, menurut Natalius, Indonesia bisa lebih mudah menjalin kerja sama dengan negara lain. Sebab, Indonesia bisa menerapkan perjanjian dengan asas resiprokal (saling menguntungkan). "Karena konsistensi Indonesia juga dilihat oleh dunia internasional," katanya. (Baca: Berkaca dari Satinah, BNP2TKI Tingkatkan Mutu TKW)
Saat ini, Satinah, tenaga kerja asal Ungaran, Jawa Tengah, sedang menanti hukuman pancung di Arab Saudi. Dia dituduh membunuh majikannya, Nura Al Garib, pada 2007.(Baca: Pesan Satinah: Tidak di Dunia, Ketemu di Akhirat)
Jika ingin dimaafkan, Satinah harus membayar diyat sebesar 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar. Hingga kini, pemerintah baru mendepositokan Rp 12 miliar. Masyarakat juga mulai saweran untuk pembayaran diyat Satinah ini. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, di Arab Saudi saja terdapat 39 warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati. (Baca: TKI Dianiaya, Ini Langkah Hukumnya)
LINDA TRIANITA
Terpopuler:
Ini Aksi Bohong Penculik Bayi
Jokowi: Indonesia Harus Berani Stop Impor Sapi
Remy Sylado Kritik Keppres Soal Tiongkok