TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat yang juga merupakan politikus senior Partai Golkar menyebut partai tersebut memiliki tokoh-tokoh yang hampir setara sejak dulu. (Baca: Mendekat ke Mega, Ical: Kenapa Bukan SBY?)
"Sering kali tidak solid untuk memutuskan siapa calon presidennya setelah zaman Soeharto selesai," ujarnya saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu, 2 April 2014. (Baca juga: Soal Korupsi, Ruhut Sitompul Sindir Partai Golkar)
Ia mengungkapkan tradisi itu pun diteruskan sampai sekarang. Namun, Hidayat melanjutkan, kompetisi tidak menuju pada posisi presiden. "Tokoh-tokoh seperti Pak Akbar Tandjung dan Pak Jusuf Kalla tidak usah diajari berpolitik, mereka juga ambil targetnya wakil presiden kan, which is belum diputuskan," ucapnya.
Sebelumnya Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar Yoris Raweyai mengklaim mayoritas anggota partai berlambang pohon beringin menginginkan evaluasi terhadap pencalonan Aburizal Bakrie sebagai presiden. Keinginan menggelar evaluasi semakin menguat setelah elektabilitas Ical, sapaan Aburizal, terus merosot. "Wacana ini semakin kuat, maka kita akan menggelar evaluasi setelah pemilu legislatif nanti," kata Yoris, Senin kemarin.
Menurut Yoris, telah terjadi anomali di Golkar sejak rapat pimpinan nasional yang menetapkan Ical sebagai calon presiden. Golkar sebenarnya sengaja menetapkan sejak dua tahun lalu sebagai cara agar Ical mampu meningkatkan elektabilitas. Pada 7 Maret lalu, elektabilitas Ical 9,3 persen.
Akan tetapi, hal yang terjadi justru anomali karena elektabilitas Golkar terus meningkat tajam. "Tapi elektabilitas ARB cenderung statis bahkan menurun terus. Kita tentu tak mau kalah lagi. Sudah dua pemilu kalah terus," ujarnya. (Baca: Putusan MK Soal Lapindo Jadi Ganjalan Golkar)
MARIA YUNIAR
Topik terhangat:
MH370 | Kampanye 2014 | Jokowi | Prabowo | Lumpur Lapindo
Berita terpopuler lainnya:
Kata Ahok Soal Sumbangan Rp 60 M Prabowo di Pilgub
Temui Demonstran, Jokowi: Biar Cepat Pulang
Ini Caleg dan Capres Ideal Versi KPK