TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kebijakan Publik, Fiskal, dan Moneter Hariyadi Sukamdani mengatakan tingkat upah minimum buruh di Indonesia terlalu tinggi dan tak sebanding dengan produktivitasnya. "Dibanding beberapa negara lain di Asia, upah kami lebih tinggi tapi produktivitasnya kalah," ujarnya, Kamis, 3 April 2014. (Baca: Kawasan Berdaya Saing Tinggi Terpusat di Jawa)
Hariyadi kemudian mengutip penelitian USAid dan Bappenas yang menyebut bahwa produktivitas tenaga kerja di Indonesia relatif rendah dan tak sebanding dengan kenaikan upah yang diterimanya.
Dalam penelitian yang dilakukan tahun lalu itu, USAid dan Bappenas mengambil sampel di industri pembuat sepatu yang menyerap banyak tenaga kerja dan berpotensi ekspor. Di sana, mereka menemukan bahwa seorang tenaga kerja di Indonesia hanya mampu menghasilkan rata-rata 0,8 pasang sepatu per hari. Sementara upahnya pada 2013 mencapai rata-rata US$ 242 per bulan atau naik dari US$ 176 per bulan pada 2012.
Pada saat yang sama, di Vietnam, dengan tingkat upah US$ 140 per bulan, seorang pekerja dapat menghasilkan sepasang sepatu setiap hari. Di Cina, dengan tingkat upah US$ 235 per bulan, seorang pekerja rata-rata dapat menghasilkan 1,1 pasang sepatu tiap harinya.
Belum lagi, Hariyadi menyebut, pengusaha masih harus mencadangkan banyak biaya lain di luar upah untuk pekerja mereka. Di antara biaya itu adalah 13,24-14,74 persen dari upah untuk jaminan sosial, 13 persen untuk kenaikan upah per tahun dan 5 persen untuk pesangon. Total dana cadangan yang harus disediakan adalah 31,24-32,74 persen dari upah yang dibayarkan. "Jadi secara peraturan tidak ada upah murah di Indonesia," kata dia. (Baca: Buruh Pertanyakan Rancangan Perda Ketenagakerjaan)
PINGIT ARIA
Terpopuler
SBY Turun Tangan Selesaikan Bandara Ahmad Yani
Enam Kegagalan Pemerintah Pimpinan SBY di Mata Ekonom
Layanan Bandara Soekarno-Hatta Terbaik ke-4 Dunia