TEMPO.CO, Jakarta - Sejak Presiden Soeharto tumbang dari kekuasaannya, DPR meloloskan 219 wilayah sebagai daerah pemekaran baru. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan sebagian besar daerah baru itu sebenarnya tidak layak untuk dimekarkan. Ternyata, ada persekongkolan antara politisi korup dan pebisnis hitam di balik pemekaran ini. (Baca: 2017, Daerah Otonom Tak Berkembang Akan Dihapus)
"Pemekaran bukan jualan kosong, tetapi dimodali dengan uang besar. DPR pun memanfaatkan ini untuk kepentingan kekuasaan menjelang pemilu," ujar Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), saat memaparkan riset terbaru lembaganya pada Jumat, 4 April 2014. (Baca: Pemerintah Ngotot DPRD Pilih kepala Daerah)
Menurut Robert, usul pemekaran wilayah yang marak menjelang pemilu legislatif diduga kuat menjadi ajang pencarian duit oleh partai politik. Kesimpulan ini berdasarkan hasil penelusuran organisasinya yang menemukan banyaknya para pejuang otonomi daerah yang menggunakan uang untuk memuluskan kepentingan mereka di DPR.
Namun dia mengaku sulit mengungkap dengan lebih detail modus ataupun praktek lancung dalam pembentukan daerah baru tersebut lantaran lihainya para pemain di DPR. "Tetapi yang jelas pemekaran wilayah menjadi instrumen untuk politik uang," katanya. (Baca: Empat Daerah Prioritas Pemekaran Bermasalah)
Indikasi itu, kata Robert, bisa dilihat dari 80-an program pemekaran daerah yang dipaksakan terus bergulir hingga akhir masa jabatan DPR periode 2009-2014. Wakil rakyat tampak ngotot meloloskan daerah-daerah yang diusulkan tanpa becermin pada kegagalan ratusan daerah yang sudah dimekarkan sebelumnya.
Seharusnya, lanjut Robert, masalah yang sudah melanda daerah pemekaran menjadi fokus DPR untuk mencari jalan keluar. Tetapi kenyataannya DPR malah terus menambah wilayah pemekaran di Tanah Air. "Ini menunjukkan bahwa daerah pemekaran hanya untuk kepentingan kekuasaan," ia menegaskan.
TRI SUHARMAN