TEMPO.CO, Jakarta - Data-data ekonomi domestik yang terus membaik menjadi alasan pelaku pasar meyakini tingkat suku bunga acuan (BI Rate) belum akan berubah dari posisi saat ini, yakni 7,5 persen. Neraca perdagangan Februari yang diketahui surplus US$ 785,3 juta dan angka inflasi Maret 0,08 persen dianggap pelaku pasar sebagai indikator kinerja perekonomian dalam negeri memang telah membaik.
Ekonom dari PT Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta, menegaskan laju BI Rate sebaiknya memang tak perlu berubah. Alasannya, dengan data-data perekonomian saat ini, tak ada alasan otoritas moneter menaikkan BI Rate. “Secara teoretis, saat inflasi rendah, suku bunga memang tak boleh berubah,” katanya.
Namun Rangga mengingatkan bahwa BI Rate juga tak perlu terburu-buru diturunkan. Pasalnya, arah kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang belum pasti tetap berpotensi mengancam pergerakan mata uang negara berkembang seperti rupiah.
“Untuk mengantisipasi kebijakan The Fed yang melanjutkan pengurangan stimulus moneter (tapering off) dan berencana menaikkan suku bunga acuannya, BI Rate juga tak perlu diturunkan,” kata Rangga.
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh analis dari PT BNI Securities, Thendra Chrisnanda. Menurut dia, kenaikan atau penurunan BI Rate saat ini justru akan menganggu kinerja perekonomian. Jika BI Rate dinaikkan, Thendra khawatir produktivitas ekonomi bergerak melambat. Sebaliknya, jika diturunkan, ia khawatir terjadi kenaikan inflasi.
Apalagi, dalam beberapa bulan ke depan, tingkat konsumsi masyarakat cenderung tinggi. Suasana jelang tahun ajaran baru dan bulan puasa biasanya membuat belanja masyarakat meningkat. “Menjelang puasa ada potensi lonjakan inflasi, sehingga BI Rate sebaiknya tak perlu berubah,” tutur Thendra.
MEGEL JEKSON (PDAT)
Terpopuler :
Anas 'Tabuh Genderang Perang' Lawan SBY
Cara Jokowi Jelaskan Kasus Busway Karatan
Kata Agnez Mo Soal Insiden Nip Slip
Ini Penyebab Agnes Terlihat seperti Memakai Popok