TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menyatakan keluarga korban pembunuhan oleh tenaga kerja Indonesia Satinah binti Jumadi Ahmad tergolong orang kaya. Ia menilai keluarga itu sebenarnya tak membutuhkan uang darah atau diyat. (Baca: Demi Satinah, Indonesia Bayar Diyat Rp 20 Miliar).
"Berapa pun diyatnya, tidak bisa menyembuhkan rasa kehilangan," kata Faizasyah di Universitas Pertahanan, Jakarta, Senin, 7 April 2014. Secara umum nyawa tak dapat diberi patokan secara nilai harga. Pertimbangan ini, menurut dia, menjadi dasar bagi pemerintah Arab Saudi mempersilakan warganya mengajukan diyat kepada pembunuh anggota keluarganya.
Pemerintah Arab Saudi bahkan tetap membiarkan ketika warganya menetapkan besaran diyat di luar kewajaran. "Mereka tidak melihat besaran uangnya," katanya. Namun Faiz sendiri enggan menyimpulkan adanya indikasi praktek mafia dalam proses penetapan besaran diyat. (Baca: Satinah Tetap Diadili Walau Diyat Dilunasi dan Jika Bebas, Satinah Tak Boleh Lagi ke Arab Saudi).
Ia justru menilai pemberitaan dalam negeri kerap mempersulit pemerintah untuk melobi keluarga korban. Pemberitaan kasus TKI di luar koridor hukum justru kerap kontraproduktif. "Tidak mau mengomentari masalah mafia, prosedurnya pemerintah bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk mengupayakan kerelaan bagi keluarga. Nyawa tidak bisa kembali."
Satinah diharuskan membayar diyat sebesar 7 juta riyal atau Rp 21 miliar untuk terhindar dari hukuman pancung atau qishash dari pengadilan Arab Saudi. Ia dihukum karena saat bekerja sebagai penata laksana rumah tangga di Al Gaseem, Arab Saudi, membunuh dan mencuri barang majikannya, Nura Al Garib. (Baca: Tim Pemerintah Bertemu Pengacara Majikan Satinah).
FRANSISCO ROSARIANS
Terpopuler
4 Spekulasi Jejak MH370 Tak Terpantau Radar TNI
Cara Jokowi Jelaskan Kasus Busway Karatan
Zona Pencarian MH370 Pindah Lokasi
Bersaksi untuk Andi Mallarangeng, Adhyaksa Kesal
Ini Penyebab Agnes Terlihat seperti Memakai Popok