TEMPO.CO, Surabaya - Meski sosialisasi pemilihan umum calon legislatif gencar dilakukan di daerah lokalisasi Dolly, partisipasi pemilih terbilang rendah. Rata-rata pemilik hak pilih yang tidak menggunakan hak suara alias golongan putih di setiap tempat pemungutan suara (TPS) mencapai angka 50 persen.
"Banyak faktor sebenarnya, salah satunya karena ketidaktahuan pemilih terhadap caleg," kata anggota TPS 75 RT 4 RW 12 Putat Jaya, Sugeng Basuki, kepada wartawan, Rabu, 9 April 2014.
Dikatakan Sugeng, selama 15 tahun atau tiga kali pelaksanaan pemilu, angka golput berkisar di angka 50 persen. Padahal, kata dia, banyak anggota partai yang blusukan di kampungnya. Di antaranya dari Gerindra, Hanura, Demokrat, Golkar, dan PDIP.
Dari jumlah 410 orang di daftar pemilih tetap, masyarakat yang bersedia datang hanya sekitar 208 orang. "Itu pun banyak yang tidak sah, tapi jumlahnya belum dihitung," ujarnya.
Hal yang sama terjadi di TPS 77 RT 6 RW 12. Angka golput di TPS itu sekitar 50 persen. Dari 331 orang dalam DPT, hanya 166 yang memenuhi undangan pemilu. Ketua TPS, Mat Sa'I, mengaku tidak mempunyai ide untuk menurunkan angka golput yang tiap pemilu masih terbilang tinggi.
Sedangkan di TPS 66 RT 5 RW 10, angka golput mencapai 40 persen. Dari 390 nama dalam DPT, pemilih yang hadir hanya 221 orang. "Enggak ada formulir A5 juga, itu masalahnya," ujar panitia TPS, Slamet Prijanto.
Pada masing-masing TPS tersebut, jumlah pemilih didominasi oleh para warga sekitar, bukan pekerja seks komersia. Pasalnya, kata Sugeng dan Mat Sa'i, para PSK lebih memilih pulang ke kampung halaman masing-masing. "Karena mereka punya kartu tetap di daerah asalnya," ujar Mat Sa'i. Lokalisasi Dolly tutup dua hari selama pemilu.
Menurut Sugeng, mungkin masyarakat memilih menjadi golput karena tidak mengetahui para calon anggota legislatif. "Warga cenderung bingung dan jenuh dengan para caleg."
DEWI SUCI RAHAYU
Terpopuler