TEMPO.CO, Jakarta - Budayawan dari Komunitas Yogya Semesta, Hari Dendi, mengaku prihatin dengan praktek umum Pemilu 2014. Dia menilai arah etika dalam bidang politik bergeser ke arah jual-beli menggunakan uang ataupun segala sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.
"Makanya, di kalangan pemilih muncul budaya 'NPWP', nomor pira wani pira (nomor berapa berani berapa)," kata Hari dalam Dialog Budaya dan Gelar Seni Yogya Semesta bertema "Membangun Indonesia dengan Budaya Politik Beretika" di pendapa Wiyatapraja, kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa malam, 14 April 2014.
Kondisi tersebut, menurut antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra, lantaran masyarakat sebagai pemilih tidak mengenal siapa yang akan dipilih. Orang yang akan dipilih pun tidak mempunyai visi-misi yang jelas. "Lalu, muncullah transaksi sesat. Mau suara, berani kasih berapa," ujarnya.
Pakar politik dari UGM, Bambang Purwoko, mengaku mendapat keluhan dari para calon anggota legislatif yang bertarung pada Pemilihan umum 2014, khususnya dari Sleman. Para caleg, kata dia, menilai pemilu kali ini paling mahal. (Baca: Begini Makelar Serangan Fajar Poroti Duit Caleg )
Sebabnya, masyarakat telah mempunyai keberanian untuk meminta uang demi kemenangan para caleg. "Kalau pemilu dahulu, para calon bagi-bagi duit. Tapi sekarang, masyarakat yang minta duit," ujarnya.
Masyarakat yang dimaksud, menurut Bambang, tidak hanya secara personal, melainkan masyarakat sebagai pranata sosial, seperti tingkatan rukun tangga, rukun warga, karang taruna, hingga kelompok PKK. "Pranata sosial sudah menjadi broker politik. Mereka mau memberikan suara asalkan caleg itu mau berani bayar berapa," katanya.
Padahal, menurut sosiolog dari UGM, Arie Sudjito, apabila caleg sejak awal tidak membiasakan memberi uang, rakyat pun tidak akan memintanya. Persoalan muncul pada paradigma para caleg tersebut. "Caleg mikir, kalau nanti enggak diberi uang, ya akan kalah. Akhirnya, tetap bagi-bagi uang," katanya. (Baca: Kata Warga Marunda Soal 'Serangan Fajar' Pemilu)
Anggota DPD yang mencalonkan kembali, Hafidz Asrom, mengaku pernah dimintai sejumlah uang oleh kelompok masyarakat. "Miris memang, masyarakat malah minta. Saya bilang, kalau begitu, jangan milih saya saja," ujarnya.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Berita Lain
Jokowi Muncul Lagi di Soal UN Bahasa Inggris untuk SMA
Pesawat Kepresidenan Jajal Terbang, Ini Rutenya
Cegah Pelecehan Seksual, Ajarkan Anak 5 Hal Ini