TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indo Baromater, Muhammad Qodari, mengatakan warga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mempengaruhi kemenangan pada pemilihan presiden. Alasannya, jumlah pemilih dari dua organisasi ini mendominasi.
"Secara kuantitas, mereka mempengaruhi," kata Qodari ketika dihubungi Tempo, Rabu, 16 April 2014. Qodari mengatakan sekitar 33 persen pemilih adalah nahdliyin. Adapun warga Muhammadiyah mencapai 7-9 persen dari jumlah pemilih 168 juta. (Baca: JK Datangi PBNU, Ada Apa?)
Karena itulah Qodari tak heran banyak calon presiden yang menemui tokoh-tokoh teras di ormas tersebut. Sayangnya, Qodari mengatakan, kedekatan calon presiden dengan tokoh organisasi tak mempengaruhi nahdliyin dan warga Muhammadiyah memilih politikus itu.
Buktinya, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri tetap kalah saat mencalonkan diri menjadi presiden pada Pemilihan Umum 2004 meski menggandeng Ketua Umum Pengurus Besar NU saat itu, Hasyim Muzadi. (Baca pula: Gus Mus: Ketua PBNU Tak Ngerti Politik)
Qodari menuturkan calon presiden yang akan dipilih kedua pengikut organisasi masyarakat tersebut adalah yang paling populer. Jemaah juga belum tentu memilih calon presiden yang diusung oleh partai yang sebelumnya mereka coblos pada pemilu legislatif 9 April lalu.
Qodari menyarankan calon presiden tak hanya mendekati tokoh dua organ itu atau partai lain, tapi juga terjun ke akar rumput. "Dekat dengan tokoh tetap perlu, tapi hanya menjadi simbol kalau calon presiden itu tak melupakan kelompok NU dan Muhammadiyah," ujarnya.
PDI Perjuangan dan Partai Gerindra tengah gencar mengunjungi sejumlah ulama ormas Islam terbesar di Indonesia serta Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Calon presiden PDI Perjuangan Joko Widodo dan capres Gerindra Prabowo Subianto rutin sowan menjelang pemilihan presiden.
SUNDARI SUDJIANTO