TEMPO.CO , Jakarta - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie mengatakan sistem pemilu dengan suara terbanyak berimplikasi pada maraknya politik uang yang dilancarkan tiap calon legislator. Apalagi, kata dia, kultur masyarakat masih permisif terhadap politik uang.
Hasilnya, serangan fajar marak terjadi seiring banyaknya jumlah calon legislator, bukan partai, yang menebar duit. "Politik uang tak hanya diarahkan kepada masyarakat pemilih," kata Jimly di kantornya, Kamis, 17 April 2014. "Fulus juga mengalir ke samping dan ke atas." (Baca: Panwaslu Ajari Warga Jerat Pelaku Politik Uang)
Maksudnya, kata dia, calon legislator juga mendekati petugas di level tempat pemungutan suara. Mulai Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dan anggotanya, kata dia, yang main mata dengan calon legislator. Sedangkan ke atas, ujar dia, adalah calon legislator memcoba berkongkalikong dengan petugas Komisi Pemilihan Umum di tingkat kelurahan, kecamatan, ataupun kabupaten.
Jimly menduga maraknya praktek jual-beli suara tersebut lantaran pemilu menggunakan sistem suara terbanyak. Jadi, jabatan wakil rakyat menjadi persaingan terbuka, lepas dari partai. "Ada 15 ribu calon legislator di 12 partai politik yang bekerja di lapangan sendiri-sendiri," katanya. Mereka ini, tutur dia, juga bertarung melawan koleganya sendiri dalam satu partai.
Penyelenggara pemilu, kata dia, kesulitan menangani politik uang ini karena dilakukan secara masif. Apalagi, perbuatan ini tidak dilakukan terstruktur ataupun dikendalikan oleh pimpinan pusat partai. "Masalah ini harus dicatat sebagai persoalan serius," ujarnya.
MUHAMMAD MUHYIDDIN
Terpopuler:
Wanita Italia Koma di Bali, Napoli Galang Dana
Belanda Bantu PT PAL Produksi Kapal Perusak Rudal
Kasus Murid TK JIS, Korban Baru Versi Komnas Anak