TEMPO.CO, Jakarta - Konsumsi liquefied petroleum gas (LPG/elpiji) pada 2014 diperkirakan mencapai 6,1 juta metrik ton, naik 7 persen dari konsumsi 2013 sebesar 5,7 juta metrik ton. Meski mengurangi konsumsi bahan bakar minyak, VP Domestic Gas PT Pertamina (Persero) Gigih Wahyu Hari Irianto mengatakan, kenaikan konsumsi LPG ini membuat impor tetap meningkat.
“Dengan adanya konversi minyak tanah ke LPG, permintaan meningkat tajam sementara produksi dalam negeri tidak meningkat signifikan. Ini berarti impor akan meningkat,” kata Gigih di kantor pusat Pertamina, Jakarta, Senin, 21 April 2014.
Meski Indonesia memiliki potensi gas yang besar, jenis gas yang diproduksi tidak bisa diolah menjadi LPG. Hal ini disebabkan oleh struktur kimia gas bumi yang dihasilkan di Indonesia adalah gas metana dan butana yang biasanya dipergunakan untuk gas pipa. (Baca juga: Pertamina Luncurkan Varian Baru LPG)
Sedangkan kebutuhan untuk LPG dalam tabung adalah gas butana dan propana yang merupakan produk ikutan dari sumur minyak bumi. “Jadi meskipun kita kaya sumber gas, tidak bisa memenuhi kebutuhan karena yang dihasilkan di Indonesia lebih banyak metana,” kata Gigih.
Indonesia mengimpor LPG dari negara-negara Timur Tengah yang merupakan produsen terbesar LPG. Pada 2013, impor LPG mencapai 59 persen dari total kebutuhan gas dalam negeri atau sekitar 3,3 juta ton. “Tahun ini mungkin impor akan meningkat menjadi 60 persen atau sekitar 3,7 juta ton,” ucapnya.
Gigih mengatakan pasokan LPG yang didominasi oleh impor ini menyebabkan biaya produksi juga tinggi karena adanya bea masuk. Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang masih lemah dan harga LPG di pasar dunia yang tinggi membuat biaya produksi ikut tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pertamina membukukan kerugian sebesar Rp 22 triliun dari bisnis LPG nonsubsidi. Hal ini lantaran LPG nonsubsidi kemasan 12 kilogram masih dijual di bawah harga keekonomian.
Pertamina telah membuat roadmap kenaikan harga LPG 12 kilogram yang direncanakan naik bertahap setiap enam bulan. Kenaikan ini dilakukan mulai Januari 2014 hingga Juli 2016 dengan kenaikan Rp 1.000 per kilogram setiap semester.
“Tahun 2016 diharapkan sudah mencapai harga keekonomian di kisaran di atas Rp 10.000 per kilogram,” kata Gigih.
BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE
Berita lain:
Kasus Murid TK JIS, Tersangka Wanita Jadi Otaknya
Wali Kota Risma Arak Socrates Award Keliling Kota
Dukungan Pencopotan Suryadharma Meluas di Daerah