TEMPO.CO, Jakarta – Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan sekitar 60 ribu orang melakukan perpindahan secara tidak lazim melalui laut pada 2013. Dari jumlah itu, lebih dari 1.300 imigran ilegal tewas atau hilang di laut selama 2012 dan 2013.
Namun angka itu diperkirakan lebih banyak lagi. Pasalnya, pergerakan yang tidak lazim itu sering kali terjadi tanpa data dan tidak diketahui dengan pasti.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Badan Pengungsi PBB (UNHCR) menggelar acara lokakarya internasional tentang “Perlindungan dalam Perpindahan Ireguler Orang-orang Melalui Laut”, yang diadakan di Jakarta pada 21-22 April lalu. Acara tersebut dihadiri 14 negara Asia-Pasifik, yang merupakan negara asal, negara transit, dan negara tujuan.
Selain Indonesia dan UNHCR, negara yang hadir antara lain Afganistan, Australia, Bangladesh, Filipina, Iran, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, Selandia Baru, Sri Lanka, Thailand, serta International Organization for Migration (IOM). Perwakilan dari Irak, Fiji, dan UN Office on Drugs and Crime (UNODC) hadir pula sebagai pengamat.
Ke-14 negara itu sepakat meningkatkan upaya untuk menekan jumlah kematian di laut dan untuk memastikan bahwa orang–orang yang melakukan perjalanan atau perpindahan dengan perahu menerima perlindungan yang mereka butuhkan.
"Perlu adanya kerja sama multilateral dan regional, untuk mengatasi tantangan darurat dan kompleks yang muncul karena adanya perpindahan maritim bercampur (mixed maritime movements) dengan cara-cara yang lebih manusiawi,” kata James Lynch, Koordinator UNHCR untuk Asia Tenggara.
Indonesia kerap menjadi negara persinggahan imigran yang akan menuju Australia. Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa mengatakan menegaskan perlunya pendekatan kemanusiaan terhadap para pendatang ilegal tersebut.
“Perihal lalu lintas perbatasan dan kompleksitas permasalahan pergerakan ireguler membutuhkan pendekatan di tingkat nasional, regional, dan global,” kata Marty Natalegawa.
Rekomendasi lokakarya tersebut akan disampaikan dalam "Dialog tentang Perlindungan di Laut” yang akan diadakan Komisioner Tinggi UNHCR pada Desember mendatang.
NATALIA SANTI