TEMPO.CO, Jakarta - Megaproyek National Capital Integrated Coastal Development atau yang dulu disebut Giant Sea Wall dimulai pada pertengahan 2014. Tiga pengembang kakap disebut-sebut juga berinvestasi dalam proyek pengembangan properti di lahan seluas 1.080 hektare di laut utara Jakarta yang bakal direklamasi itu.
Namun, Wali Kota Jakarta Utara Heru Budi Hartono mengatakan pemerintah daerah dan pihak swasta belum mencapai kata sepakat dalam soal pembagian pendapatan atas proyek itu. Setidaknya ada tiga perusahaan yang berminat mengembangkan properti di sana, yakni Artha Graha Group, PT Agung Podomoro, dan PT Agung Sedayu. (Baca: 3 Pengembang Kakap Bidik Giant Sea Wall)
Heru mengatakan semua pengembang yang berminat menggarap proyek yang digagas pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo itu berkumpul dalam sebuah paguyuban. Minimal sebulan sekali mereka menggelar rapat baik dengan pemerintah daerah maupun antar-pengembang. "Sering sekali mereka berkumpul dan berkoordinasi menyamakan persepsi pembangunan."
Namun setiap kali rapat dengan pemerintah daerah, kesepakatan perihal pembagian pendapatan selalu gagal dicapai. Menurut Heru, pihak swasta menghendaki semua pendapatan hasil penjualan properti masuk ke kantong mereka. Sedangkan pihak pemda dan pemerintah pusat berkukuh menginginkan pendapatan lain selain dalam bentuk pajak tapi juga bukan dalam saham. (Baca: Jokowi: 2014 Baru Studi Kelayakan Giant Sea Wall)
"Masak, sudah dikasih laut kemudian direklamasi, lalu mereka bangun properti dan segala macamnya terus dijual, tapi pemerintah tidak mendapatkan keuntungan selain pajak?" ujar Heru. Ia melanjutkan, "Apakah negara cuma diberi uang kompensasi untuk perbaikan hutan mangrove dan tambak? Laut itu milik negara."
Ia mencontohkan, di Belanda, pemerintah mendapat penghasilan sebanyak 70 persen dari adanya reklamasi. Uang tersebut masuk ke kas pemerintah daerah setempat. Sisanya, 30 persen masuk kantong swasta.
Pemda sendiri, kata Heru, tak menginginkan proporsi pembagian pendapatan seperti di Belanda. "Kami ingin dalam konsesinya nanti pembagiannya 40 persen untuk pemerintah sisanya untuk swasta."
Ia menyatakan mafhum akan keinginan pemerintah itu. Sebab, geliat bisnis pembangunan properti, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan industri tak selesai begitu bangunan dijual atau disewakan. "Kawasan seperti Kelapa Gading saja setelah dibangun dan dijual pengembang masih bisa mendapatkan keuntungan. Bisa dari lahan parkir serta semacam uang perawatan," katanya.
Selain itu, dampak sosial dari pembangunan tanggul raksasa ditangani oleh pemerintah. Setidaknya, kata dia, ada 200 bagan milik nelayan yang mesti mendapat ganti rugi. Diperkirakan harga per bagan mencapai Rp 2 juta. Untuk itu, ia menyarankan pembentukan badan pengelolaan reklamasi Jakarta Utara. Sebab, tidak mudah mengelola pantai hasil reklamasi. "Butuh lembaga khusus untuk menanganinya," ujarnya.
ERWAN HERMAWAN
Topik Terhangat: Hadi Poernomo Pelecehan Siswa JIS Kisruh PPP Jokowi Prabowo
Berita lainnya:
Kebakaran Pasar Senen, 33 Unit Damkar Diturunkan
Kasus di JIS, Polisi Temukan Kelainan pada Pelaku
Siang Ini, Jakarta Diprediksi Hujan