TEMPO.CO , Jakarta: Kontroversi penghitungan hisab dan rukyat untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan di kalangan umat muslim Indonesia tampaknya segera berakhir. Adalah teknik Astrofotografi yang diusung ilmuwan Prancis, Thierry Legault, yang kemungkinan bisa menyatukannya.
Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menyambut positif teknik tersebut. “Ini menjadi upaya jalan keluar terhadap permasalah umat Islam, terutama dalam menentukan hisab rukyat. Saya sendiri siap menerima,” kata Din Syamsuddin, saat menghadiri workshop Astrofotografi di Surabaya, Sabtu, 26 April 2014.
Dengan teknik ini, Din optimistis perbedaan pandangan antara NU-Muhammadiyah dalam menentukan awal dan akhir bulan suci bagi umat Islam dapat dipecahkan. Sebab, teknik Astrofotogafi sudah mengaplikasikan ilmu teknologi. Persoalannya, menurut Din, apakah pemerintah dan organisasi masyarakat lain bersedia menerima teknik astrofotgrafi tersebut.
Setelah mendengar cara kerja teropong Astrofotografi, Din menyarankan alat itu sebaiknya mampu digunakan saat kondisi langit tertutup awan. Alasannya, kata Din, ahli falak kerap meragukan penghitungan alat yang mempunyai kelemahan. "Alangkah lebih baik jika bisa digunakan saat langit tertutup awan."
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan teknik ini bisa diaplikasikan menentukan hilal. Sebab, fenomena objek yang diamati sama. Ketika objek sama dan didasari ilmu pengetahuan, Nuh yakin teknik Astrofotgrafi bisa menjadi salah satu jawaban menyatukan hisab dan rukyat demi kepentingan agama. "Kecuali objeknya berbeda dan ghoib itu tidak bisa disatukan. Ini objeknya ada dan sama, yakni bulan," Nuh menjelaskan dukungannya.
Alat itu, kata Thiery Legault, merupakan salah satu modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendeteksi posisi bulan. Ia mengklaim, teropongnya mampu bekerja tujuh jam tanpa henti memantau pergerakan bulan. Teropong juga dilengkapi kemampuan merekam dalam bentuk foto dan video. "Direkam dan dianalisa dengan komputer dan hasilnya terbaca. Tapi alat harus bekerja dalam kondisi langit cerah tanpa awan," kata dia.
Inisiator acara, Agus Mustofa, mengatakan diubutuhkan 20 teropong sejenis untuk memantau hilal di seluruh Indonesia. Dia sudah membidik daerah NTT dan NTB untuk proses pengamatan. Agus mengakui tidak mudah menyatukan penghitungan rukyat dan hisab. "Butuh waktu, tapi ini bisa menjadi solusi dan titik temu antara umat muslim," kata Agus.
Metode penyatuan hisab rukyat yang digunakan adalah Rukyat Qobla Ghurub, yaitu teknik merukyat hilal sebelum maghrib. Dengan cara itu, pembuktian hadirnya bulan sabit awal Ramadhan ataupun Syawal tidak perlu menunggu saat matahari tenggelam atau maghrib. "Tetapi bisa dilakukan di siang atau pagi hari.”
Dengan metode Rukyat Qobla Ghurub itu, tim Astrofotografi bisa memotret dan merekam video posisi bulan sebelum ijtimak dan sesudahnya di waktu Ashar. "Kalau hilalnya kurang, biasanya pihak lain menambah satu hari lagi karena bulan terlihat tipis. Tahun ini, bisa-bisa puasanya tidak sama tapi Insya Allah Idul Fitri sama," kata Din menambahkan.
DIANANTA P. SUMEDI
Berita lain:
Wawancara Khusus Kepala JIS: Kasus Ini Amat Berat
Ahok Sewot, Ini Jawaban Kepala Dinas Pajak
Aceng Fikri ke Senayan, Menteri Linda Tercengang
SBY: Pemimpin Jangan Terlalu Sering Blusukan
Jadi Cawapres, SBY: Mereka Mengolok Saya
Tito Vilanova Meninggal
Office 365 Personal, Dilengkapi Layanan Cloud