TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan nilai tukar rupiah yang menguat tidak selalu berarti baik. Begitu juga sebaliknya: kalau rupiah melemah, tidak selalu jelek. "Ini pola pikir yang harus diubah," katanya di kompleks Bank Indonesia, Jumat, 2 Mei 2014.
Hal yang paling penting, kata dia, adalah nilai tukar yang stabil. Mirza menuturkan masyarakat bisa menjalankan usaha dan merencanakan anggaran apabila nilai tukar stabil. Tantangan bagi Indonesia adalah membuat neraca perdagangan tetap surplus.
"Current account deficit (defisit neraca berjalan) juga harus lebih kecil, harus 2,5 persen dari produk domestik bruto," kata Mirza. Menurut dia, nilai tukar harus bisa membuat ekspor lebih kompetitif dan menjadikan impor lebih terkendali.
Mirza mengatakan tren suku bunga luar negeri juga harus diperhatikan. Suku bunga Amerika Serikat pada 2015, kata dia, kemungkinan besar naik. Adapun tahun ini suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Fed belum naik.
Di pasar mata uang kemarin, nilai tukar rupiah ditutup menguat 37 poin (0,32 persen) ke level 11.525. Angka inflasi Maret yang minus (deflasi) 0,02 persen dan neraca perdagangan Maret yang surplus US$ 680 juta membangun optimisme perekonomian domestik beberapa waktu ke depan.
Pengamat mata uang, Lindawati Susanto, mengatakan penguatan rupiah ditopang oleh fundamental ekonomi dalam negeri yang semakin membaik. Kinerja perekonomian yang kian positif menyiratkan ketersediaan likuiditas dolar AS di dalam negeri.
“Meski pertumbuhannya tak sebagus impor, nilai ekspor yang lebih tinggi dari impor tentu berdampak positif bagi rupiah,” ujarnya.
MARIA YUNIAR | MEGEL JEKSON
Terpopuler
Ingin Ketemu Mega, SBY Harus Jawab Lima Pertanyaan
Begini Hukum Islam Versi Brunei
Jiplak Sinetron 'Alien' Korea, RCTI Stop Tayangan
Bailout 6,7 T, Sri Mulyani: Saya Bisa Mati Berdiri