TEMPO.CO, Brebes - Marahnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat memergoki praktek pungutan liar di jembatan timbang Subah, Kabupaten Batang, pada Ahad pekan lalu belum menimbulkan efek jera. Praktek pungutan liar ternyata masih berlangsung secara terang-terangan di jembatan timbang lain.
Salah satunya di jembatan timbang Tanjung, Kabupaten Brebes. Jembatan timbang di tepi jalur Pantai Utara di Kecamatan Tanjung itu merupakan pintu masuk ke Jawa Tengah bagi kendaraan berat dari Jawa Barat dan Jakarta.
Dari pantauan Tempo pada Senin siang, 5 Mei 2014, para sopir dan kernet truk tampak sudah menyiapkan uang pas sebelum memasuki jembatan timbang. Rata-rata Rp 20.000. Tapi ada juga yang hanya menyiapkan Rp 10.000. Memasuki jembatan timbang, para kernet itu bergegas turun.
Tanpa harus menunggu proses pemeriksaan beban muatan, para kernet truk itu bergegas turun dan langsung menemui sejumlah petugas berseragam biru yang duduk di balik meja di teras kantor jembatan timbang. Tidak sampai satu menit, para kernet itu segera kembali naik ke truk.
“Anda sudah lama, ya, duduk di sini,” tanya seorang petugas yang menghampiri Tempo di warung makan di timur pintu keluar jembatan timbang. Di seragamnya tertulis nama Resno Winardi. Meski raut wajahnya tampak tidak bersahabat, Resno kemudian mengajak Tempo masuk ke kantornya.
Belakangan diketahui bahwa Resno adalah komandan regu jembatan timbang Tanjung. Meski demikian, Resno menunjuk stafnya yang bernama Andri Kumoro untuk menemui Tempo. “Kami bekerja sesuai SOP (standar operasional prosedur),” kata Andri.
Andri mengatakan jembatan timbang Tanjung ditarget menyetor pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 10,6 juta per hari. Setoran PAD itu berasal dari denda yang dibayarkan para sopir truk yang membawa beban melebihi jumlah berat yang diizinkan (JBI).
Sanksi denda itu diberikan kepada kendaraan yang kelebihan muatannya di bawah 25 persen dari JBI. Adapun bagi kendaraan yang kelebihan muatannya lebih dari 25 persen akan dikenai sanksi tilang. “Kami sudah tidak mau seperti dulu,” kata Andri.
Seperti dulu yang bagaimana? Andri agak gelagapan menjawabnya. “Ya, kami tidak menerima mel-melan (suap). Mending suruh jalan terus saja truknya. Nanti bakal kena denda di jembatan timbang selanjutnya,” ujar lelaki asal Sleman, DI Yogyakarta, yang kini berdomisili di Kabupaten Batang itu.
Menurut Andri, sopir truk yang tidak mematuhi prosedur dan memilih menyuap daripada membayar denda sesuai dengan pelanggarannya justru akan merugi lebih besar. Sebab, dengan membayar denda, sopir truk akan mendapatkan secarik struk.
Struk bukti pembayaran denda di jembatan timbang pertama itu cukup ditunjukkan kepada petugas di jembatan timbang selanjutnya. “Jadi, tidak perlu membayar lagi,” ujarnya. Baru sekitar sepuluh menit sesi wawancara, Resno masuk ke ruangan. “Dia (Andri) harus segera bekerja,” katanya.
Beruntungnya, Resno masih memberi kesempatan Tempo untuk menyaksikan secara langsung proses pemeriksaan kelebihan beban muatan sejumlah truk yang masuk jembatan timbang. Menggunakan pengeras suara, Resno mengimbau para sopir menunjukkan buku ujinya.
Saat Tempo masih di teras kantor jembatan timbang, para staf Resno berusaha mencegah kernet-kernet truk yang hendak menyodorkan uang Rp 20.000 yang digulung atau dilipat kecil. “Baru sekali ini diperiksa. Biasanya cukup bayar Rp 20.000,” kata sopir truk bernomor polisi G (wilayah eks Karesidenan Pekalongan).
Karena pelanggarannya di atas 25 persen dari JBI, sopir truk bermuatan batu bara dari Cirebon tujuan ke Pekalongan itu terpaksa turun. Sekitar empat menit di dalam kantor jembatan timbang, sopir berumur sekitar 35 tahun itu keluar membawa secarik kertas tilang. “Kalau kelebihan muatannya hanya 1 ton masih kami beri toleransi,” kata Resno.
Sekitar 15 menit setelah Tempo meninggalkan teras kantor jembatan timbang, proses pemeriksaan kelebihan beban muatan itu masih dilanjutkan. Sejumlah petugas tampak sesekali melongok ke arah warung di sisi timur pintu keluar jembatan timbang.
Dari pengamatan Tempo, sejumlah sopir truk tampak kebingungan saat petugas langsung menyuruhnya jalan terus dan tidak bersedia menerima uang yang disodorkan. “Saya sudah biasa ngeblong (tidak masuk ke jembatan timbang, tapi memarkirkan truknya di sebelah pintu keluar),” kata Wardi, sopir truk fuso bernomor polisi N (Malang, Jawa Timur).
Sopir berkumis tebal itu turun dari truk dan berjalan menuju kantor jembatan timbang. Tidak lama berselang, sopir truk ekspedisi itu kembali ke truknya dengan wajah bingung. Uang Rp 10.000 yang sudah digulungnya dari awal masih utuh di tangan. “Tumben tidak mau dibayar. Ya sudah,” ujarnya sembari menyalakan mesin truknya.
DINDA LEO LISTY