TEMPO.CO, Bandung - Raden Ino alias Raden Makarawadja alias Panji sedang galau. Putra mahkota Kerajaan Kahuripan tersebut kehilangan kekasihnya, Putri Galuh, yang berasal dari Kerajaan Daha, hingga menjadi gila. Panji lalu menjelajah ke berbagai negeri. Dia menyusuri pantai dan gunung untuk mencari sang Putri.
Kisah pada lukisan berjudul Panji #1 itu mengawali cerita yang tersebar dalam 20 kanvas besar di pameran tunggal Eddy Susanto yang berjudul The Passage of Panji; Memory, Journey, and Desire di Lawangwangi Creative Space, Bandung. Pameran ini digelar dari 18 April hingga 18 Mei 2014.
Eddy dan timnya menggarap seluruh karya tentang Panji dengan gaya lukisan klasik Desa Kamasan, Bali. Pilihan ini terkait dengan popularitas kisah Panji yang masih tinggi di kalangan masyarakat Bali. Narasinya mengacu pada kidung Wangbang Wideya yang diperkirakan muncul pada 1610. Kisah Panji sendiri diyakini lahir di Jawa pada akhir abad ke-14 hingga awal abad ke-15 Masehi.
Seperti pada karya sebelumnya, rangkaian aksara masih dipilih sebagai garis-garis gambar. Kali ini Eddy memakai aksara Bali kuno. Lalu ketika lampu ultraviolet dinyalakan tiap satu jam sekali di ruang pameran, seluruh kanvas berubah tampilan. Panji dan ceritanya seperti lenyap, berganti ke berbagai kisah dari aneka negeri, seperti Layla dan Majnun dari Persia, Cleopatra dan Antony, Pocahontas, Romeo dan Juliet, serta Samson dan Delilah. Gambar-gambar tersebut muncul seperti menyala dengan warna hijau berkat polesan batuan fosfor di tiap kanvas.
Kisah-kisah itu didasarkan pada hasil riset seniman penciptanya, mirip dengan bagian cerita Raden Panji. Misalnya kisah percintaan dan pengalamannya di medan perang. Kurator Taufik Rahzen mengatakan kisah Panji tak terpisahkan dan ikut menjadi bagian penting dari epos-epos besar peradaban dunia seputar sepasang manusia yang saling jatuh cinta.
Tema itu berawal dari diskusi Eddy dengan Taufik soal cerita-cerita rakyat di Indonesia tiga-empat tahun silam. Mereka menganggap kisah Panji yang juga menyebar ke sejumlah kota dan negara Asia Tenggara seperti Palembang, Vietnam, dan Srilanka jarang dibicarakan. "Padahal ini murni kisah dari Melayu, bukan seperti Mahabharata atau Ramayana yang berasal dari India," kata Eddy kepada Tempo, Senin, 5 Mei 2014.
Setelah melakukan riset, Eddy dan selusin anggota tim membangun ulang gambar Panji seperti wujud aslinya. Setelah lukisannya jadi, garapan berikutnya yaitu menggambari tiap kanvas dengan polesan fosfor. Warna hijau muda dipilihnya untuk menyesuaikan citra asli fosfor. Jadi totalnya ada 40 karya yang mereka buat dalam 20 kanvas.
Sebelum di Bandung, pameran sejenis pernah mereka gelar di acara World Culture Forum di Nusa Dua, Bali, pada 2012. "Karya dan temanya memang disiapkan awalnya untuk acara tersebut," kata Eddy. Maka dicarilah cerita-cerita rakyat dari sejumlah negara peserta forum itu. Ternyata tidak semua negara punya kisah Panji atau kisah yang sekadar mirip dengan cerita Panji.
Yang cukup fantastis dari pameran ini yaitu harga jual lukisannya. Tiap lukisan Eddy dibanderol dengan harga Rp 100 juta, atau total bernilai Rp 2 miliar.