TEMPO.CO, Jakarta: Bekas Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dan bekas bendahara partai itu, M. Nazaruddin, duduk di kursi saksi bersama di Pengadilan Tipikor Jakarta. Mereka dihadirkan sebagai saksi terdakwa Kepala Divisi Konstruksi PT Adhi Karya Teuku Bagus Mokhamad Noor, Selasa, 13 Mei 2014. Dalam sidang itu, keduanya menunjukkan sikap tidak akur dengan saling membantah keterangan yang mereka sampaikan. (Baca: Hambalang: Anas Disebut Sempat Restui Jago Nazar)
Sikap saling bantah dua orang yang dahulu akrab saat masih menjadi pengurus Partai Demokrat itu, bermula ketika Ketua Majelis Hakim Amin Ismanto bertanya mengenai proses proyek Hambalang. Nazaruddin mengatakan proyek senilai Rp 2,5 triliun itu di-setting bosnya, sejak dari awal. "Mas Anas mantan bos saya yang mulia," kata Nazar ketika bersaksi untuk terdakwa Teuku Bagus dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa, 13 Mei 2014. (Baca: Mahyudin Demokrat Bantah Minta Uang Rp 500 Juta)
Kaitannya dengan Teuku Bagus, kata Nazar, selaku Kepala Divisi Konstruksi pernah menyampaikan permohonannya terkait dengan proyek Hambalang, renovasi Gedung DPR, dan proyek Priok. "Yang disetujui bos saya (Anas) hanya 2, Hambalang dengan nilai proyek Rp 2,5 triliun dan Gedung DPR Rp 1,8 triliun," kata dia. (Baca: Anas Tuding SBY Paham Kasus Hambalang dan Century)
Untuk mematangkan proyek Hambalang, Nazar menuturkan, pada Juli 2009 terdapat pertemuan bersama Anas, Munadi Herlambang, Teuku Bagus, Manajer Pemasaran PT AK M. Arief Taufiqurrahman, dan Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras di Pacific Place, Jakarta Selatan. Anas, kata dia, memerintahkan Mahfud untuk mengecek kepastian proyek Hambalang.
Mahfud lantas melapor bahwa proyek Hambalang ada permasalahan sertifikat tanah dengan adik bekas Presiden Soeharto dan hanya bisa diselesaikan Badan Pertanahan Nasional. Anas langsung memerintahkan Nazar untuk memanggil Ignatius Mulyono, anggota DPR dari Demokrat, yang bermitra dengan BPN agar bisa melobi Joyo Winoto, Kepala BPN.
Ignatius mengurusnya dan sertifikat jadi pada tiga pekan kemudian. Diduga Joyo mendapat upah Rp 3 miliar untuk mengurus sertifikat itu.
Hakim Amin lantas mengkonfirmasi yang disampaikan Nazar ke Anas. "Gimana pertemuan yang diceritakan Nazar?," tanyanya.
Anas langsung membantah semua pernyataan Nazar. "Saya tidak ada pertemuan yang dimaksud Nazar. Saya menduga yang diceritakan adala pengalamannya sendiri," kata Anas.
Nazar langsung menimpali, "Semakin banyak bos saya (Anas) tidak tahu, makin besar dia tau," katanya.
Sebelumnya, saat sidang baru dimulai, Nazar yang masuk belakangan meminta Andi agar pindah tempat duduk di sebelah Anas. Padahal, kursi antara Anas dan Andi tersebut tersedia untuk Nazar.
LINDA TRIANITA