TEMPO.CO, Jakarta -Singapura menjadi tempat yang menyenangkan bagi para seniman di Asia tak terkecuali para seniman Indonesia. Negara ini mempunyai banyak tempat untuk memajang karya para seniman. Salah satu tempat yang menjadi tujuan dan menyelenggarakan pameran adalah Gillman Barracks di 9 Lock Road, Singapura.
Gillman Barracks ini boleh dikatakan salah satu kantong seni rupa kontemporer yang didirikan oleh pemerintah Singapura. Pembangunannya dilakukan oleh Badan Pembangunan Ekonomi Singapura, EDB, JTC Corporation dan Lembaga Nasional Seni Singapura. Pemilihan bekas barak tentara ini menjadi pusat seni dilakuan oleh lembaga otoritas pembangunan kembali untuk pemukiman ,URA.
Terletak di tengah kota, dikepung gedung-gedung pencakar langit dan lapangan bola, area Gillman Barracks mempunyai luas sekitar 6,4 hektar dan belasan gedung bekas barak. JTC bertugas memperbaiki barak-barak berlangit-langit tinggi menjadi galeri yang diinginkan para galeri. Dari keterangna tertulis yang diperoleh Tempo, mereka membangun 4200 meter persegi untuk galeri seni, 4800 meter persegi untuk aktivitas seni seperti studio seniman, pusat penelitian kesenian, termasuk beberapa outlet makanan dan minuman.
Nama ini diberi nama dari seorang tentara ternama Inggris Sir Webb Gillman. Tempat ini awalnya adalah hutan dan rawa yang dibangun untuk menempatkan batalion pertama, dan resimen menengah yang dikirim untuk melipatgandakan kekuatan infanteri tentara Inggris di Singapura. Tempat ini menjadi ajang pertempuran sengit antara resimen Inggris dan tentara Jepang selama tiga hari, sebelum Singapura jatuh ke tangan Jepang pada 1942 pada masa Perang Dunia II.
Tempat ini lalu menjadi sekolah angkatan bersenjata Singapura, setelah itu gedung digunakan untuk tujuan komersial pada 1990 dan dinamai Gillman Village lalu kembali ke nama asal yakni Gillman Barracks pada 2010
Baca Juga:
Dari luar, bangunan fisik yang masih memperlihatkan bangunan itu bekas tempat barak militer. Gedung tua yang kokoh dan kaku. Tetapi begitu masuk ke dalam, tak terlihat sama sekali bekas barak itu. Ruangannya bersih, nyaman dengan pendingin ruangan dan menjadi tempat yang bagus untuk memajang karya. Setidaknya ini yang terlihat di Block 43, ketika Guggenheim UBS MAP mengadakan pameran No Country Contemporary Art for South and Southeast Asia 7 Mei 2014 lalu.
Di komplek ini terdapat 16 galeri dari 10 negara yang berbeda yakni Arndt-Jerman, Equator Art Project-Indonesia, Fost-Singapura, Future Perfect-Australia, Michael Janssen Singapore- German, Mizuma-Jepang, Ota Fine Arts-Jepang, Partners and Mucciaccia-Italia, Pearl Lam -Hongkong dan Shanghai, Shanghart-Cina, Silverlens-Filipina, Space Cottonseed-Korea, Sundagaram Tagore-Amerika Serikat, The Drawing Room-Filipina, Tomio Koyama-Jepang dan Yeo Workshop-Singapura.
Tempat ini tentu saja menyenangkan para pemilik galeri, seniman yang ingin memamerkan karyanya. Salah satunya dari Solomon R Guggenheim Museum yang berpusat di Amerika Serikat. Mereka sudah mulai tertarik saat saat pembangunan kawasan ini menjadi galeri. “ Kami bekerja sama dengan beberapa pihak termasuk Nanyang Technological University yang menyelenggarakan Pusat Penelitan Seni,”ujar Alexandra Munroe, Kurator dari Solomon R Guggenheim untuk Seni Asia kepada Tempo, 7 Mei 2014 lalu.
Dia juga berharap bisa memberi tempat dan mendorong para seniman di kawasan Asia untuk mengembangkan karyanya. Hal ini disambut baik oleh salah satu seniman Indonesia. “Menyenangkan sekali bisa dipilih dan berpameran di sini. Tempatnya sangat representatif,” ujar Reza Afisina. “Sayang Indonesia belum punya tempat seperti ini.”DIAN YULIASTUTI