TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Muchlasin, Direktur Industri Keuangan Non-Bank Syariah Otoritas Jasa Keuangan, mengatakan, berdasarkan survei lembaganya, 32 persen masyarakat Indonesia tak memiliki proteksi saat terkena musibah. Jumlah itu berarti sekitar 80 juta dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia.
"Saat ditanya ketika terkena musibah, ada yang menjawab menggunakan tabungan dan asuransi, tapi 32 persen di antaranya mengaku tak punya apa-apa," katanya saat berbincang dengan wartawan di gedung OJK, Jumat, 16 Mei 2014. Kelompok tersebut merupakan kalangan menengah-bawah yang ketika mendapat musibah cenderung menjual aset.
Selain itu, hanya 67 juta penduduk yang memiliki polis asuransi. Rinciannya, 10 juta merupakan polis individu dan 57 juta merupakan kumpulan. Polis kumpulan dicontohkan, seorang anak sekolah yang mempunyai asuransi kecelakaan diri hanya mendapatkan sertifikat, sedangkan polis dipegang sekolah.
Bagi kalangan menengah ke bawah, kata Muchlasin, asuransi sebenarnya memiliki arti penting karena umumnya mereka tak memiliki tabungan. "Karena mereka nyaris miskin, harus menjual aset. Mereka lebih rentan," ujarnya. (Baca juga: Survei: Masyarakat Kecil Butuh Asuransi Pemakaman)
Melihat hal tersebut, ada beberapa hal yang akan dilakukan OJK dengan asosiasi asuransi. Misalnya, mendirikan tim pengembangan asuransi mikro. Selain itu, juga menjalin kerja sama dengan enam regulator Asia berupa deklarasi inklusif asuransi mikro. Pengembangan asuransi inklusif, tutur dia, merupakan upaya membuat asuransi sebagai produk layanan untuk warga yang memiliki keterbatasan keuangan.
Saat ditanya wartawan tentang kemungkinan membuat peraturan khusus asuransi mikro, Muchlasin mengatakan peraturan tersebut sedang dibahas. Menurut dia, sebenarnya saat ini OJK sudah memiliki peraturan mengenai asuransi mikro, tapi kurang insentif. "Mengenai nantinya diwajibkan atau tidak, masih kami pertimbangkan," katanya.
FAIZ NASHRILLAH
Terpopuler
Pramugari Salat di Pesawat, Ini Tanggapan Garuda
Pro-Jokowi: Isu Puan Cawapres Adu Domba Politik
Gaya Komunikasi Wali Kota Surabaya Dikritik