TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, menilai sikap mendua politikus Golkar dalam mendukung pasangan capres dan cawapres sebagai hal lumrah. "Dalam beberapa kali pemilihan presiden memang selalu ada faksionalisasi dalam memberikan dukungan," kata Ari saat dihubungi, Selasa, 20 Mei 2014.
Menurut Ari, sikap mendua Golkar didorong oleh keinginan pengurus untuk tetap mendapatkan akses dalam pemerintahan. Meski pada saat pilpres terdapat perbedaan pendapat, akhirnya Golkar akan tetap masuk dalam pemerintahan. "Faksi mana pun yang menang akhirnya akan merekonsiliasi kekuasaan untuk menguasai kepengurusan Golkar."
Ari mencontohkan, pada pemilihan presiden 2004, Golkar secara resmi mengusung Wiranto sebagai calon presiden. Namun yang menang justru kader Golkar lain, Jusuf Kalla, yang tampil mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2005, kubu Kalla kemudian mengambil alih kepengurusan Golkar.
Begitu juga pada Pemilu 2009 saat kelompok Aburizal Bakrie mendukung pasangan SBY-Boediono dalam pilpres. Padahal saat itu Jusuf Kalla juga maju sebagai capres. Hasilnya, setelah pemilihan presiden, posisi ketua umum yang dijabat Jusuf Kalla pun akhirnya diambil Aburizal Bakrie alias Ical. "Pragmatisme politik itu secara tak langsung tumbuh jadi tradisi di Golkar."
Siang ini sejumlah pengurus Dewan Pimpinan Pusat Golkar berencana mendeklarasikan dukungan terhadap Jokowi dan Jusuf Kalla. Beberapa pengurus yang akan hadir adalah Ketua DPP Agus Gumiwang Kartasasmita, Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Indra J. Piliang, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Poempida Hidayatullah. Hengkangnya sejumlah kader Golkar bertentangan dengan keputusan Ical yang merapat ke Prabowo. (Baca: Prabowo Larang Ical Hadiri Deklarasi)
IRA GUSLINA SUFA
Terpopuler:
Jadi Cawapres, Ini Daftar Kebijakan Kontroversi JK
Profil Wisnu Tjandra, Bos Artha Graha yang Hilang
Inanike, Pramugari Garuda yang Salat di Pesawat
Anak Buah Hilang, Ini Kata Tomy Winata