TEMPO.CO, Jakarta: Sejumlah orang tua yang tergabung dalam komunitas Ibu Bergerak dan Komnas Perlindungan Anak menggagas petisi database pelaku kejahatan seksual yang ditujukan kepada Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Database ini nantinya agar digunakan oleh para instansi atau siapa pun untuk mengetahui daftar pelaku kekerasan seksual.
"Sejauh ini belum ada tes kesehatan yang bisa mendeteksi pedofil. Maka dengan database ini diharapkan mampu meminimalisir kejahatan seksual terulang lagi," kata penggagas petisi, Precilia Siahaan, pada Selasa, 20 Mei 2014, dalam jumpa pers di Kemang, Jakarta Selatan.
Precilia mengatakan mereka mengajukan petisi kepada Kementerian Hukum dan HAM karena mereka memiliki data pelaku kejahatan seksual yang lengkap. Ia merinci kejahatan seksual yang dimaksud dalam hal ini termasuk pornografi pada anak dan perdagangan anak.
Sedangkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan komunitas Ibu Bergerak dan Komnas Perlindungan Anak meminta agar pemerintah mewajibkan institusi pendidikan formal dan informal untuk memastikan seluruh pegawainya tidak termasuk dalam daftar pelaku kejahatan seksual.
Dengan adanya database ini, kata Precilia, maka akan menjadi hukuman seumur hidup bagi para pelaku kekerasan seksual. Sebab mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan. "Kami percaya data ini bisa mengurangi kasus terulang. Yang harus dilakukan Kemkumham yaitu membuka akses data itu kepada publik," katanya.
Dalam jumpa pers itu, Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyampaikan desakan kepada DPR RI dan pemerintah untuk merevisi segera Pasal 81, 82, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, untuk mengubah hukuman minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun bagi pelaku kejahatan seksual, menjadi minimal 20 tahun dan maksimal seumur hidup ditambah dengan kebiri melalui suntik kimia bagi pelaku kejahatan seksual dewasa.
Selain itu juga meminta Kepala Kepolisian RI untuk meningkatkan status Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang berada di polres dan melekat pada Kasat Reskrim menjadi setingkat Kasat Reskrim. Sedangkan tingkat unit PPA yang semula ada di polres menjadi melekat pada Kasat Reskrim masing-masing polsek. "Sehingga polisi bisa memberikan layanan yang lebih cepat, maksimal, dan berpihak pada korban," kata Arist.
APRILIANI GITA FITRIA
Berita Terpopuler:
Aburizal Terima Tawaran Menteri Utama dari Prabowo
Pengamat: Hanya Dua Poros Capres, Jokowi Untung
Chairul Tanjung Larang Pembelian Kendaraan Dinas
Sperma Tertua di Dunia Ditemukan di Australia
Ryan Giggs Akhiri Karier di Manchester United