TEMPO.CO, Padang - Pakar tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan aturan penyelenggaraan pemilu serentak harus secepatnya dibahas dan disahkah. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan presiden harus serentak pada 2019.
"Agar persiapannya matang sebelum tahun 2019," ujarnya di sela Konferensi Nasional Hukum Tata Negara dan Anugerah Konstitusi Mohammad Yamin di Sawahlunto, Sabtu, 31 Mei 2014.
Menurut dia, pilkada juga harus dilakukan serentak, sehingga bisa dilakukan kompilasi Undang-Undang Pemilu. Kompilasi ini akan mencakup aturan tentang pemilu legislatif, pemilihan presiden, pilkada, dan penyelenggaraan pemilu. "Sehingga terbentuk kitab Undang-Undang Pemilu," ujarnya.
Saldi berharap DPR dan pemerintah mulai membahas kompilasi UU Pemilu ini sejak awal 2015. "Paling lama akhir 2015 sudah selesai," ujarnya.
Pelaksanaan pemilu serentak menjadi solusi untuk pemecahan masalah mahalnya biaya pelaksanaan pilkada. Menurut Saldi, jika pilkada dikembalikan ke DPRD, itu menjadi hal yang keliru. "Masalahnya yang harus diselesaikan, di antaranya dengan mengubah sistem," ujarnya.
Guru besar tata negara Unand ini mengatakan Sumatera Barat pernah mencoba pilkada serentak. Hak ini menghemat 50 persen biaya. "Kritik anggaran yang besar bisa terjawab dengan pemilu serentak," katanya.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan keputusan MK tidak menyinggung masalah pilkada serentak. Padahal, seperti halnya pemilu presiden dan legislatif, pilkada serentak sangat penting.
Sebab, pilkada serentak tak hanya mengurangi fragmentasi politik dalam masyarakat dan mendorong pemilih bersikap rasional. Namun untuk mengefektifkan kontrol pemilih terhadap partai politik dan menyeimbangkan beban pekerjaan penyelenggaran pemilu. (Baca: Pilkada Serentak Mulai 2020)
Selain mengurangi biaya penyelenggaraan dan biaya politik, pilkada serentak juga dapat mengurangi kesibukan partai politik dalam menangani konflik internal dan mengiring partai politik menjalin hubungan dengan konstituen. "Ini bisa memperbanyak kesempatan kader-kader partai politik berkompetesi, membentuk pemerintahan yang solid dan efektif, membangun oposisi yang konstruktif, serta menciptakan agenda politik lima tahunan yang jelas," ujarnya.