TEMPO.CO, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat membuat pengeluaran PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) meningkat. Salah satu alasannya adalah hingga kini perusahaan pelat merah itu memiliki utang yang cukup besar dalam bentuk valuta asing.
“Mau tak mau pengeluaran kami terpengaruh pelemahan kurs. Biaya bahan bakar dalam rupiah jadi lebih besar, termasuk pembayaran utang,” ujar Direktur Utama PLN Nur Pamudji di Jakarta, Rabu, 4 Juni 2014. (Baca: Rupiah Melemah, Pengusaha Cuma Kuat Hingga 12.000)
Sebagai perusahaan yang memiliki utang dalam valuta asing tetapi mendapat pemasukan dalam rupiah, kata Nurs, PLN memiliki risiko rugi akibat selisih kurs. Beban PLN bisa meningkat akibat perubahan nilai tukar meskipun tak menambah pengeluaran. Saat ini utang dalam valuta asing tersebut digunakan untuk membiayai investasi infrastruktur ketenagalistrikan.
Namun Nur belum bisa memastikan bahwa PLN akan kembali mengalami kerugian akibat selisih kurs seperti pada 2013. “Rugi kurs itu membandingkan kurs pada 31 Desember 2013 dengan kurs 31 Desember 2014. Kalau realisasi lebih tinggi dari sebelumnya, baru rugi kurs.” (Baca: Investor Abaikan Kejatuhan Rupiah)
Namun meski nilai tukar saat ini melemah hingga Rp 11.800 per dolar AS, salah satu sumber Tempo dari perusahaan itu mengatakan PLN justru mendapat laba dari selisih kurs. “Kurs per 31 Desember 2013 yang digunakan dalam laporan keuangan adalah Rp 12.189 per dolar AS, lebih tinggi dari nilai tukar sekarang Rp 11.800 per dolar AS,” ucap sumber tersebut.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jarman, mengungkapkan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS menyebabkan beban subsidi listrik membengkak. Ia menyebutkan pelemahan Rp 100 per dolar AS bakal membuat beban subsidi meningkat Rp 1 triliun.
BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE
Berita terpopuler:
Tingkat Stres Karyawan Bank Tinggi
Penghentian Produksi Newmont Dilakukan Sepihak
Rupiah Merosot, Investor Lari ke Saham