TEMPO.CO, Jakarta - Pengusaha makanan dan minuman mengatakan akan mengevaluasi harga penjualan setelah Lebaran mendatang. Evaluasi harga ini dilakukan untuk menyikapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir. "Kami akan melihat sampai Lebaran bagaimana pengaruhnya," kata Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman, Selasa, 3 Juni 2014.
Pada 3 Juni 2014, Bank Indonesia mencatat kurs jual 11.865 per dolar AS. Adhi mengatakan industri makanan dan minuman masih bisa menahan pelemahan nilai tukar hingga maksimal 12.000 per dolar AS. "Kalau sampai 12.000 per dolar AS masih aman karena perhitungan industri ada toleransi. Tapi, kalau lebih dari itu, kami akan hitung ulang," kata Adhi.
Adhi mengatakan pelemahan nilai tukar berpengaruh pada industri makanan dan minuman karena rata-rata 60 persen bahan baku industri makanan dan minuman masih diimpor. Ia mencontohkan, bahan baku terigu dan gula yang masih 100 persen bergantung kepada impor. Ada pula susu yang masih 70 persen mengandalkan impor.
Menurut Adhi, jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi hingga 5 persen, biaya produksi akan naik 3-5 persen. "Mudah-mudahan kenaikan harga bisa diserap oleh margin, meskipun margin tergerus. Menaikkan harga jadi pilihan terakhir kami, karena melihat pengalaman biasanya penjualan turun ketika harga naik," kata Adhi.
Adhi berujar, pengusaha tak akan menaikkan harga barang dagangannya secara mendadak jika memang harus dinaikkan. Dia mengatakan industri makanan dan minuman umumnya punya stok untuk kebutuhan dua bulan, terdiri atas stok bahan baku selama sebulan dan satu bulan produk jadi.
BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE
Baca juga:
Investor Abaikan Kejatuhan Rupiah
Lanjutkan Koreksi, Rupiah ke 11.810 per Dolar AS
Rupiah Rawan ke Level 12.000
Terpopuler
Ingin Bahagia? Kuncinya Sekolah yang Tinggi
Tingkat Stres Karyawan Bank Tinggi
Penghentian Produksi Newmont Dilakukan Sepihak