TEMPO.CO, Yogyakarta - Sosiolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Susetiawan, intoleransi antar-agama ada di setiap agama. Ini
artinya ada sekelompok orang yang tidak toleran. “Mereka itu minoritas sehingga tidak bisa digeneralisasi keseluruhan umat
beragama,” ujarnya.
Dua insiden yang dicap sebagai perilaku intoleran dalam agama terjadi di Yogyakarta. Kasus pertama berupa penyerangan terhadap rumah Direktur Galangpress Julius Felicianus saat berlangsung ibadat Rosario ke-29 pada Kamis malam 29 Mei 2014 dan perusakan rumah yang difungsikan sebagai gereja, pada Ahad 1 Juni 2014, keduanya di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut Susetiawan, sikap intoleran dari kelompok agama mayoritas lebih kelihatan menonjol karena mereka merasa jumlahnya lebih banyak dari pemeluk agama lain. “Dampaknya adalah kelompok tertentu yang menghendaki kekacauan memanfaatkannya untuk adu domba,” kata Susetiawan yang juga Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY.
Menurut salah seorang Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, aksi intoleransi merupakan sesuatu yang rumit, karena melibatkan banyak kepentingan dan relasi antar-manusia. “Intoleransi terjadi karena adanya konflik. Suasana antagonis itu membangun radikalisme pelaku intoleran,” ujar Haedar kemarin.
Maraknya aksi intoleransi di Yogyakarta, kata Haedar tidak menunjukkan fenomena masyarakat Yogyakarta makin sektarian. Ia mencontohkan munculnya tabliq akbar anti-pluralisme merupakan respon sesaat dari kelompok tertentu. “Aktivitas masyarakat dalam ruang publik memang sulit dikendalikan aparat maupun kelompok agama,” katanya.
Untuk menyelesaikannya, masyarakat harus menahan diri dan berpikir dengan kepala dingin supaya tidak muncul aksi serupa. “Saat ini tahun
politik sehingga semua pihak harus menahan diri supaya masalah tidak bertambah rumit,“ kata Haedar. Menurut dia, dialog antar-agama di Yogyakarta selama ini sudah berjalan baik. “Namun, dialog tak cukup. Pemerintah dan kelompok agama perlu terus berikhtiar mencegah intoleransi.”
Sebelumnya Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang Mgr. Jonannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta menawarkan rekonsiliasi dengan kelompok yang melakukan kekerasan dan intoleran di Sleman itu.
SHINTA MAHARANI