TEMPO.CO, Tangerang Selatan - Pengamat persampahan kota dari Universitas Gadjah Mada, Sodiq Suhardianto, menilai sistem pengolahan sampah sanitary landfill yang diterapkan di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Cipeucang, Tangerang Selatan, tidak sesuai standar. "Lahannya terbatas dan jaraknya terlalu dekat dengan permukiman," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 5 Juni 2014.
Kolam sampah yang dibuat untuk menampung dan memadatkan sampah juga tidak ditutup, sehingga gas metana (CH4) yang keluar dari tumpukan sampah itu mencemari udara sekitar. "Semestinya ditutup agar gas tidak keluar," katanya.
Gas metena tersebut sangat berbahaya jika dihirup dalam waktu yang lama karena gas rumah kaca itu memiliki daya rusak 21 kali lebih berbahaya dibanding karbondioksida (CO2). "Ini sangat berbahaya bagi warga sekitar," ujarnya. (Baca: Hanya 20 Persen Sampah Tangerang Selatan Terangkut)
Dampak terpaparnya gas metana bisa menimbulkan kematian lantaran terkena penyakit serius. Salah satunya, gangguan pernapasan atau ISPA.
Pengolahan sampah yang diklaim Pemerintah Kota Tangerang Selatan menggunakan sistem sanitary landfill itu, kata Sodiq, semestinya jangan dilanjutkan. (Baca: Pengelolaan Sampah Cipeucang Beroperasi Januari)
Saat ini pengolahan sampah di Tangsel dan banyak kota di Indonesia umumnya bukanlah menggunakan sanitary landfill, melainkan open dumping, sehingga mengakibatkan air tanah tercemar air lindi karena kebocoran geomembran. Open dumping juga menimbulkan polusi udara karena gas metana yang ditimbulkan.
Pendapat serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Hijau Fortuna (WHF) Romly Revolvere. Dia menilai sistem pengelolaan sampah di TPST Cipeucang masih carut-marut."Ini karena lemahnya political will pemerintah daerah untuk menuntaskan salah satu sumber masalah ekologi di Tangsel," katanya. (Baca: Warga Cipeucang Tolak Sampah Tangerang Selatan)