TEMPO.CO, Bandung - Sebuah gitar listrik Godin Multiac berwarna cokelat itu tampak unik. Badannya diukir dua sidik jari besar berwarna cokelat tua dan putih. Bagian yang ganjil ada pada leher (neck) gitar, tempat jemari gitaris memainkan nada.
Karya perupa Sunaryo itu merupakan salah satu gitar koleksi gitaris Dewa Budjana yang tengah dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, dari 4 Juni lalu. Pameran ini berakhir pada 22 Juni 2014. Di bagian fret yang berfungsi sebagai penunjuk letak titik not, ada garis bilah yang tak utuh, ada pula yang hampir berdempetan.
Di tangan Teguh Ostenrik, gitar listrik Fender Stratocaster diubah menjadi patung atau monumen. Pelat-pelat besi, teralis, serta gir saling menempel, membungkus gitar tanpa senar itu. Adapun Ari Smit cukup membubuhkan tanda tangan dan namanya di kanan bawah badan gitar akustik.
Pada gitar listrik Parker Nite Fly, Wayan Tuges mengukir badan gitar kecoklatan itu dengan bentuk burung, bunga, dan sesosok dewi bertangan empat. Gitar yang lengkap dengan enam senar itu pun terkesan sebagai panel kayu ukiran yang bisa diajak bermusik.
Salah satu "dewa" gitar di Indonesia itu total membawa 34 gitar yang wujudnya tak biasa. Budjana menyerahkan gitar-gitar miliknya ke para perupa tersohor untuk diolah menjadi karya seni rupa. Hasilnya, karya seni itu terlihat ada yang menyatu dengan gitar sebagai barang hasil desain. Selebihnya seperti sebuah gelas yang berisi minyak dan air.
Di ruang galeri B dan Sayap, pengunjung hanya akan mendapat secuil informasi dari selembar kertas pengantar pameran. Kisah pembuatan gitar-gitar Budjana itu selengkapnya terkumpul di sebuah buku berjudul Dawai-Dawai Dewa Budjana tulisan Bre Redana. Sebelum di Bandung, pameran serupa digelar di Jakarta dan Yogyakarta. Rencananya, pameran keliling itu akan berakhir di Bali, di museum gitar milik Dewa Budjana.
Di buku itu, Budjana bercerita, kedekatannya dengan para perupa tersebut dimulai sejak 1997 saat berkenalan dengan kartunis Jango Paramarta. Setelah meminta Jango berkarya di gitarnya, pada 2000, Budjana melakukan hal serupa ke pelukis Made Sumadiyana. Made melukis alam semesta dengan warna dominan biru tua dan muda dengan guratan cat putih serta titik bulatan merah. Lukisan itu didasarkan pada penilaian Made terhadap permainan gitar Budjana yang terdengar lebih kontemplatif.
Pande Ketut Taman melukis gumpalan awan putih seperti pola batik mega mendung di kedua sisi badan gitar. Desain ini terkait dengan meletusnya Gunung Merapi yang membawa berkah kesuburan dan musibah.
Tema keseimbangan hidup itu juga diangkat Agus Suwage dengan gambar-gambar tengkorak dan dedaunan. Sedangkan I Nyoman Masriadi, yang melukis balon warna-warni, menggambarkan kesan pertamanya ketika bertemu Budjana. Gitaris itu dinilainya sangat sopan sehingga Masriadi merasa harus berhati-hati dan takut salah saat berbincang.
Beberapa nama artis lainnya yang berkarya di gitar Budjana yakni Astari Rasjid, Ay Tjoe Christine, Bob Sick, Djoko Pekik, Erica Hestu Wahyuni, Handiwirman Saputra, dan Jeihan Sukmantoro. Menurut Budjana, dalam buku tersebut, pendekatan ke para perupa itu cukup panjang. Beberapa seniman ada yang menolak, tidak menanggapi permintaan, juga membatalkan diri.
Saat meminta, Budjana membebaskan mereka berkreasi tanpa tema tertentu. Bahkan ia rela jika gitarnya menjadi tak berfungsi. "Ada yang selesai dalam sehari, sebulan, hingga setahun lebih," katanya seperti tertulis dalam buku. Karya-karya seniman itu, menurut Budjana, diperolehnya secara gratis dan sukarela.
ANWAR SISWADI