TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, menyarankan mahasiswa tidak bersikap apatis dalam pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) nanti.
Menurut Asvi, bila mahasiswa apatis lalu memilih golongan putih (golput), ia khawatir hal itu bisa memperkeruh suasana politik dalam pilpres. “Jika angka golput meninggi dan selisih suara pilpres menjadi sangat tipis, maka hasil pilpres rawan konflik,” kata dia.
Pandangan itu disampaikan Asvi dalam diskusi “Gerakan Mahasiswa di Pusaran Arus Peristiwa Malari 1974 dan Gerakan Reformasi 1998” yang diselenggarakan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo di aula Universitas Negeri Jakarta, Selasa, 10 Juni 2014. Diskusi dihadiri ratusan peserta yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat umum.
Menurut Asvi, bila selisih perolehan suara antar kandidat pilpres tak melampaui 10 persen, maka potensi terjadinya konflik akan terbuka lebar. Pasalnya, pendukung masing-masing calon presiden diprediksi akan terus mengugat selisih suara yang hanya berjumlah tipis. “Agar potensi konflik kecil, selisih suara sebaiknya 10–15 persen.”
Agar mencapai tujuan tersebut, meski tak harus menjadi tim sukses, Asvi pun mengimbau mahasiswa untuk melakukan langkah-langkah persuasif. Misalnya, dengan memberikan pendidikan politik kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti lingkungan rumah tangga dan keluarga.
Redaktur Tempo, Jajang Jamaludin, mengatakan dengan menggunakan semangat gerakan mahasiswa pada 15 Januari 1974 semestinya mahasiswa dapat menggunakan hak politiknya dalam pilpres. “Jangan sia-siakan hak politik karena ketimpangan ekonomi sejak zaman Orde Baru masih banyak yang belum berubah,” kata Jajang.
MEGEL JEKSON
Berita lainnya:
Slogan Baru Kemenag, Ikhlas Beramal
Kejaksaan Kembalikan Uang Ridwan Rp 2,06 Miliar
Berantas Korupsi, SBY: Indonesia Butuh 35 Tahun