TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan analis menilai pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini lebih dipicu sejumlah faktor yang datang dari luar negeri. Salah satunya diungkapkan oleh analis dari PT Asjaya Indosurya Securities, William Surya. Dia mengatakan kurs rupiah melemah karena imbas perbaikan pertumbuhan ekonomi Amerika.
“Tak hanya Indonesia, tapi juga Filipina, Malaysia, dan negara lain yang mengalami hal sama,” ujar William ketika dihubungi, Kamis, 19 Juni 2014. Dia juga menilai kurs rupiah yang melemah karena faktor domestik malah tidak terlalu terlihat. (Baca: Kurs melemah Rp 100 Subsidi Naik Rp 1 Triliun)
Menurut prediksi William, anjloknya rupiah bakal mencapai level terendah di angka Rp 12.200- 12.400 per dolar AS. Sedangkan kurs rupiah bisa menguat paling banter di level Rp 10.900-11.200 per dolar AS. Adapun pada Kamis ini Bank Indonesia mencatat kurs tengah rupiah berada di level Rp 11.916 per dolar Amerika Serikat.
Akibat pelemahan rupiah ini, William memperkirakan tingkat inflasi akan makin bertambah tinggi. Pasalnya, konsumsi barang impor masih tinggi. Selain elektronik dan makanan-minuman, barang yang volume impornya masih besar berasal dari produk minyak dan gas bumi.
Dia juga memastikan bahwa tidak ada pengaruh dari jalannya debat calon presiden pada Ahad malam lalu terhadap kurs rupiah. “Programnya (kedua calon presiden) masih belum jelas, jadi tidak ada pengaruh ke pasar uang." (Baca: BI: Kurs Rupiah 11.600–11.800 per Dolar AS)
Lain halnya dengan Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual yang mengatakan pelemahan kurs rupiah terjadi karena imbas dari gejolak peperangan di Timur Tengah, khususnya di Irak. “Karena ada krisis di Suriah sudah meluas ke Irak membuat harga minyak meningkat,” tuturnya. Indonesia merupakan salah satu konsumen utama minyak dari Irak.
HERMAWAN SETYANTO
Berita terpopuler:
Per 1 Juli 2014, Tigerair Mandala Tak Beroperasi
Nelayan Ini Ciptakan Alat Konversi BBM ke Gas
Tol Ciledug-Ulujami Bakal Jadi Idola Truk
Malaysia Berminat Bangun Jalan Tol Sumatera