TEMPO.CO, Jakarta - Pakar transportasi publik dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Ellen Tangkudung, menganggap rencana kenaikan pajak kendaraan tidak akan efektif mengurangi macet. Penerapan pajak progresif itu tidak akan secara signifikan menarik pengguna kendaraan pribadi ke moda transportasi publik.
“Apalagi kalau kenaikannya tidak signifikan,” katanya saat dihubungi, Rabu, 25 Juni 2014.
Pemprov DKI Jakarta telah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang perubahan atas Perda tentang Pajak Kendaraan Bermotor. Perda ini akan mengubah besaran tarif progresif pajak kendaraan bermotor. Nantinya perolehan dari tarif progresif PKB dalam proporsi tertentu dapat dialokasikan bagi perbaikan transportasi publik.
Pada raperda ini, Pemprov DKI mengajukan kenaikan besaran tarif progresif PKB. Bagi kepemilikan kendaraan bermotor pertama, tarif pajak kendaraan bermotor 2 persen dari semula 1,5 persen. Kepemilikan kendaraan bermotor kedua 4 persen, naik dari 2 persen. Kepemilikan kendaraan bermotor ketiga naik menjadi 6 persen dari 2,5 persen dan kepemilikan kendaraan bermotor keempat dan seterusnya, tarif progresif pajak kendaraan bermotor menjadi 10 persen dari semula 4 persen. (Baca:Mau Tahu Pajak Kendaraan Kedua dan Ketiga Anda?)
Ellen mengatakan penerapan tarif progresif yang baru itu tidak signifikan bagi para pemilik kendaraan bermotor. Menurut dia, kenaikan pajak itu baru terasa pengaruhnya jika perbedaannya cukup signifikan. Ia merasa dengan jumlah kenaikan pajak tersebut masih belum akan memindahkan pengguna mobil dan motor ke angkutan umum. “Apalagi pemilik mobil kedua atau ketiga pasti secara ekonomi sudah mampu, jadi besaran pajaknya tidak terasa untuk mereka,” katanya.
Jika ingin terasa, pajak itu harus dinaikkan secara signifikan sehingga orang berpikir ulang untuk membeli mobil dan menggunakan kendaraan pribadi. “Tapi tentu pemerintah harus memperhatikan hak masyarakat untuk memiliki kendaraan juga,” kata Ellen.
Langkah yang diambil pemerintah adalah dengan mengatur penggunaan kendaraan, bukan kepemilikannya. Dia yakin masyarakat akan secara otomatis menggunakan kendaraan umum jika seluruh sarana dan prasarana sudah tersedia dengan baik. Meski memiliki mobil, masyarakat juga pasti lebih memilih angkutan umum karena nyaman dan aman. (Baca:Produsen Mobil Tak Keberatan Pajak Kendaraan Naik)
Subsidi bahan bakar minyak oleh pemerintah pusat juga perlu dihapus dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur transportasi. Menurut Ellen, subsidi BBM yang tidak tepat sasaran justru akan semakin menyebabkan jalan makin macet. “Jadi, yang boleh disubsidi hanya untuk angkutan umum saja. Bahkan sepeda motor juga jangan diberi subsidi,” ujarnya.
Pemprov DKI juga bisa memberikan subsidi kepada angkutan umum agar masyarakat tidak dibebani oleh ongkos yang terlalu mahal. Menurut dia, subsidi untuk angkutan umum lebih tepat karena bisa dinikmati oleh semua orang. “Kalau subsidi BBM kan cuma segelintir orang saja yang menikmati,” kata Ellen. (Baca:Sebelum Pajak Naik, Pemerintah Harus Perbaiki Pelayanan)
Karena itu, dia menganggap rencana kenaikan pajak oleh Pemprov DKI kurang tepat untuk menyelesaikan masalah macet. Ia menilai setiap orang tetap berhak memiliki mobil agar bisa berjalan-jalan dengan keluarganya di akhir pekan. “Jadi, yang harus diatur bukan kepemilikan mobil, tapi bagaimana pemilik mobil menggunakan kendaraannya,” ujar dia.
DIMAS SIREGAR
Terpopuler:
Gitaris Queen Nyatakan Lagu Prabowo Tak Berizin
Berseragam Nazi, Dhani Balik Kecam Pengkritik
Anggun Kecam Dhani karena Pakai Seragam Mirip Nazi
Goenawan Mohamad: Media Tak Harus Netral
Glenn Fredly Kecewa Dhani Pakai Baju Mirip Nazi