TEMPO.CO, Jakarta - Belum disepakatinya perjanjian kerja sama (PKS) pembangunan proyek monorel oleh PT Jakarta Monorail dengan pemerintah DKI Jakarta menimbulkan reaksi negatif. Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Mohamad Sanusi menilai molornya kesepakatan akibat tidak adanya komunikasi yang intensif antara PT JM dengan Pemprov DKI.
"Saya justru kaget kenapa monorel bisa di-groundbreaking (Oktober 2013) karena pada saat itulah Pak Jokowi (Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo) bilang 'argo sudah berjalan'. Padahal, kan belum ada PKS," ujar Sanusi, Rabu, 25 Juni 2014.
Seharusnya, kata dia, sebelum groundbreaking, segala keperluan administrasi monorel antara pemerintah DKI dengan PT JM diselesaikan terlebih dahulu. "Kalau memang belum ada kesepakatan, ya harusnya jangan di-groundbreaking dulu, dong," kata Sanusi.
"Jadi, kan semua sudah pada nyanyi. Ini kemudian yang membuat masyarakat panas," ujar dia. (baca: Jokowi Resmikan Monorel Jalur Hijau)
Permasalahan belum disepakatinya PKS, menurut dia, merupakan kesalahan terbesar yang dilakukan para stakeholder. "Ada masalah kenapa waktu itu di-groundbreaking. Ini kan tender investasi, bukan menggunakan APBD. Asumsinya kan kalau sudah groundbreaking semua bisa lancar dijalankan," ujarnya
"Ditambah lagi sekarang permasalahan di Jakarta monorel enggak kunjung jadi. Busway-nya dikorupsi. Kan, mati kita semua," ujar Sanusi. (baca: Ahok Sarankan Proyek Monorel Disetop)
Menurut Sanusi, proyek pembangunan monorel mencuat karena gagalnya soal jaminan penawaran modal kecukupan proyek yang diminta pemprov sebesar 5 persen. PT JM menolak untuk menyertakan modal sebesar 5 persen. Pemprov hanya sepakat di angka yang jauh diharapkan. "Kemudian akhirnya saling tarik-menarik antara Pemprov dan PT JM ini yang hanya meminta 1 persen," ujarnya.
NURIMAN JAYABUANA