TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Peter Jacobs menyatakan bank sentral dalam jangka pendek belum melihat adanya hal-hal yang drastis terjadi dan membutuhkan intervensi khusus. “(Fluktuasi kurs rupiah) masih tergolong halus,” ujarnya di gedung Bank Indonesia, Kamis, 26 Juni 2014.
Ia mengungkapkan intervensi baru akan dilakukan Bank Indonesia jika gangguan berasal dari sisi fundamental. "Intervensi dilakukan ketika dibutuhkan, sifatnya situasional," kata Peter. (Baca: Beberapa Faktor Penyebab Pelemahan Rupiah)
Untuk itu Bank Indonesia akan tetap hadir di pasar dan terus melihat perkembangan yang ada. Fluktuasi pelemahan dan penguatan rupiah yang terlalu tinggi ataupun rendah akan lebih mengkhawatirkan Bank Indonesia jika terjadi secara drastis.
Lebih jauh Peter menilai pelemahan kurs rupiah yang terjadi belakangan ini hingga melewati Rp 12 ribu per dolar AS bukan karena dinamika politik di dalam negeri. “Ini lebih karena month end demand yang menular ke (harga) minyak. Lebih karena eksternal,” tuturnya. (Baca: Bank Indonesia: Melemahnya Rupiah Tidak Buruk)
Yang dimaksud dengan month end demand adalah kenaikan permintaan valuta asing pada akhir bulan. Selain itu, menurut dia, masih tingginya harga minyak mentah juga berpengaruh pada pelemahan rupiah.
Sebab, semakin tinggi harga minyak mentah, kebutuhan terhadap subsidi minyak menjadi lebih besar. Adapun penyebab kenaikan harga minyak itu di antaranya karena ada konflik di Irak. Karena itu, menurut Peter, investor memperkirakan defisit bakal semakin besar pada masa yang akan datang.
Pada Kamis, 26 Juni 2014, situs resmi Bank Indonesia mencatat kurs tengah rupiah berada pada level Rp 12.091 per dolar AS. Nilai tersebut melemah dibandingkan sehari sebelumnya sebesar Rp 12.027 per dolar AS.
MAYA NAWANGWULAN
Berita terpopuler:
FSRU Lampung Alirkan Gas ke Industri
Jelang Puasa, Penukaran Uang di Tegal Meningkat
Ini Tiga Tantangan Bisnis Properti di 2014
Hari Ini Pasar Murah di Kemendag Dibuka