TEMPO.CO, Sumenep - Anjloknya harga cabai membuat petani cabai di Desa Bilapora, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, enggan menanen cabainya. Sejumlah petani bahkan menyedekahkan cabai mereka kepada setiap orang yang melintas. "Harusnya dipanen sejak bulan lalu, tapi harganya cuma Rp 1000 per kilo. Jadi, biarkan saja di pohon," kata Mahdum, petani di desa itu, Selasa, 1 Juli 2014.
Menurut Mahdum, untuk dua petak sawahnya yang ditanami cabai, ia harus mengeluarkan modal untuk bibit dan pupuk sebesar Rp 1,5 juta. Namun, jika tanaman dipanen dengan harga Rp 1.000 per kilogram, Mahdum memperkirakan hanya akan memperoleh uang sekitar Rp 450 ribu. "Karena ruginya sangat besar, mending disedekahkan. Siapa saja boleh ambil, asal cuma buat makan."
Sri Haryati, pedagang di Pasar Lenteng, mengatakan harga cabai pada Ramadan kali ini sangat murah. Jika sebelum Ramadan harga cabai Rp 45 ribu per kilogram, saat ini hanya Rp 2 ribu per kilogram. "Pembeli juga sepi."
Menurut Sri, turunnya harga cabai disebabkan oleh panen yang melimpah di Kabupaten Sumenep. Karena itu, stok cabai di pedagang melimpah dan akhirnya berimbas penurunan harga di pasaran. "Nanti menjelang Lebaran biasanya naik lagi harganya."
Tak hanya di Jawa Timur, harga cabai pun anjlok di sejumlah wilayah di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat, cabai menyumbang deflasi Juni 2014. Ada dua komoditas yang menjadi penyumbang deflasi, yaitu cabai rawit dengan penurunan harga 12,22 persen dan cabai merah yang harganya turun 5,26 persen. (Baca juga : CT: Harga Cabai Anjlok, Petani Bakal Mogok)
Harga cabai turun karena memasuki masa panen dan produksi yang melimpah. Harga komoditas ini turun di 76 kota. Penurunan harga cabai rawit terbesar terjadi di Singaraja dan Manado, yakni 52 persen. Di Makassar penurunan harga cabai rawit tercatat 51 persen. Sedangkan di Pontianak dan Singkawang harga cabai merah masing-masing turun 47 persen dan 40 persen.
MUSTHOFA BISRI