TEMPO.CO, Mojokerto - Para pelaksana proyek pembangunan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, mengeluhkan kualitas proyek yang tidak maksimal. Tingginya dugaan praktek suap atau fee menjadi penyebab ketidakmaksimalan tersebut.
Menurut Anton Fatkhurrahman, salah seorang pengusaha, fee di atas kewajaran terjadi selama kepemimpinan Bupati Mojokerto, Mustofa Kamal Pasa. "Fee proyek selama Bupati Mustofa memang tinggi dibanding bupati-bupati sebelumnya," kata Anton, Rabu, 2 Juli 2014.
Mustofa menjabat bupati sejak 2010. Anton mengatakan pernah mendapat proyek fisik pada 2011, 2012, dan 2013. Selama itu pula fee yang harus dia bayarkan makin tinggi. "Fee untuk proyek tahun 2011 sebesar 10 persen, tahun 2012 sebesar 12,5-15 persen, dan naik lagi jadi 17,5 persen pada 2013," katanya. (Baca: Jejak Keluarga Bupati di Proyek Jalan Mojokerto)
Anton mengungkapkan persentase fee itu dihitung dari nilai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Misalnya, pada 2013, ia mendapat sepuluh paket proyek peningkatan jalan lingkungan (PJL) di Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya masing-masing senilai Rp 200 juta. "Tiap paket fee-nya 17,5 persen. Kalau Rp 200 juta berarti fee-nya Rp 35 juta," katanya. Sehingga dia harus menyetor fee Rp 35 juta dikalikan sepuluh paket proyek, yakni Rp 350 juta.
Fee 17,5 persen itu berlaku bagi semua kontraktor yang mendapat proyek. Karena fee yang tinggi, kontraktor menyiasati dengan mengurangi volume pekerjaan sebagai kompensasi hilangnya dana untuk fee. Masalah ini termasuk yang ditemukan dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Proyek PJL pada 2013 terdiri dari 555 paket kegiatan yang melibatkan 54 kontraktor. Dari Rencana Anggaran Biaya (RAB) Rp 97 miliar terealisasi Rp 89,8 miliar. Dari realisasi Rp 89,8 miliar, Rp 2 miliar digunakan untuk perencanaan, Rp 1,4 miliar untuk pengawasan, dan Rp 86,3 miliar untuk kegiatan fisik PJL. Dari kegiatan fisik Rp 86,3 miliar, BPK menemukan kelebihan pembayaran dan kekurangan volume pengerjaan sebesar Rp 16,1 miliar.
Bagi Anton, fee setiap proyek pemerintah hal biasa, dan tidak hanya di Mojokerto, di tempat lain juga ada. "Tapi jumlahnya tidak sebesar di Mojokerto," kata dia. Modusnya, fee tersebut disetor melalui pengusaha yang menjadi broker. "Untuk siapa saja uang itu, kami enggak tahu, mungkin juga untuk bupati."
Ketua Komisi Bidang Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mojokerto Heri Ermawan membenarkan jika selama ini pengerjaan proyek pembangunan banyak yang bermasalah. Heri menyebut penilaian BPK pada Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD) Kabupaten Mojokerto dalam empat tahun terakhir termasuk buruk.
Pada LKPD 2010, BPK memberi nilai Wajar Dengan Pengecualian (WDP), 2011 disclaimer (tidak berpendapat), 2012 WDP, dan tahun 2013 turun jadi Tidak Wajar (TW). "Dalam LKPD tahun 2013, BPK menemukan kerugian Rp 29 miliar yang harus dikembalikan ke kas daerah," kata Heri.
Adapun Bupati Mustofa membantah jika dikatakan mengutip fee dari setiap proyek pembangunan. Menurut dia, temuan kerugian oleh BPK itu salah satunya disebabkan masalah administrasi. "Kebanyakan karena kelalaian administrasi. Kami yakin bisa diselesaikan," ujarnya.
BPK memberikan kesempatan pada Pemkab Mojokerto untuk mengembalikan kelebihan pembayaran selama 60 hari sejak Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) diberikan 23 Mei 2014. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemkab Mojokerto Alfiyah Ernawati mengatakan pihaknya berupaya mengembalikan kelebihan pembayaran yang disoal BPK. "Kami juga berkoordinasi dengan BPK terutama soal kekurangan administrasi yang menyebabkan tingginya nilai pengembalian," kata Erna.
ISHOMUDDIN
Berita Terpopuler:
Tanggapi Ejekan Fahri, Ruhut: Jokowi Presiden ke-7
Bertemu Prabowo, Sultan: Sama seperti Jokowi
Punya Ladang Minyak, Aset ISIS US$ 2 Miliar
Nemwont Resmi Gugat Pemerintah ke Arbitrase