TEMPO.CO, Hong Kong – Tekad rakyat Hong Kong untuk lebih menerapkan demokrasi semakin kuat. Setelah melakukan referendum secara online sejak pertengahan hingga akhir Juni kemarin, kini rakyat Hong Kong mulai turun ke jalan.
Setidaknya ada lebih dari 510 ribu orang yang melakukan long march di Chater Road yang merupakan jantung bisnis Hong Kong pada Rabu, 2 Juli 2014. Mereka memenuhi kawasan yang tak jauh dari gedung DPRD.
Polisi pun bergerak cepat dan mulai membubarkan massa. Pendemo yang menolak terlihat meronta, tapi tak berdaya sebab langsung dihadang tiga hingga empat polisi sekaligus. “Seluruh dunia akan tahu bagaimana jeleknya polisi Hong Kong,” kata seorang pendemo dengan penuh emosi, seperti dikutip dari Reuters.
Demonstran lainnya terus menyuarakan tuntutan mereka agar demokrasi diterapkan dalam pemilihan pemimpin kota pada 2017 mendatang. Mereka ingin siapa saja berhak mencalonkan diri sebagai kandidat dan siapa saja berhak memberikan suaranya. Selama ini Cina seakan selalu menguasai pemilihan. Mereka hanya memberi dukungan kepada kandidat pro-Beijing untuk menjadi calon pemimpin.
Sesuai dengan peraturan yang berlaku di Hong Kong, semua calon pemimpin akan dipilih melalui komite nominasi. Namun, di mata para aktivis pendukung demokrasi, pencalonan tersebut dikhawatirkan akan lebih berpihak kepada pemerintah Cina. (Baca: Referendum, Hong Kong Ajukan Demokrasi kepada Cina)
Baca Juga:
Hong Kong merupakan daerah administratif khusus yang berada di bawah pemerintah Cina. Di bawah kebijakan Satu Negara Dua Sistem, Hong Kong memiliki otonomi sendiri, seperti pada sistem mata uang, hukum, bea cukai, imigrasi, dan peraturan jalan. Namun, masalah pertahanan nasional dan hubungan diplomatik tetap di bawah kendali Cina.
ANINGTIAS JATMIKA | REUTERS
Terpopuler
Punya Ladang Minyak, Aset ISIS US$ 2 Miliar
Pejihad ISIS Berasal dari Berbagai Negara
Misi Berbelok, ISIS Tak Akur dengan Al-Qaeda