TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, menilai langkah Kementerian Perindustrian yang meminta penghapusan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) kurang tepat. Sebab, hal ini akan semakin menurunkan penerimaan pajak yang saat ini sudah seret. "Memang pendapatan negara dari PPnBM ini tidak signifikan, tapi masih banyak yang harus diperhatikan sebelum mengambil langkah ini," kata dia saat dihubungi Tempo, Rabu, 2 Juli 2014 malam. (Baca:Menteri Hidayat Usul Pajak Tas Hermes Dihapus)
Prastowo menilai PPnBM untuk produk yang umum digunakan sekarang, seperti mesin cuci, kulkas, dan air conditioner memang sudah layak dihapus. "Barang-barang tersebut sudah seperti barang primer. Tapi untuk barang sekunder seperti pakaian, tas dan sepatu mewah yang bermerek itu harus dipertimbangkan lagi penghapusannya," ujar dia.
Pada dasarnya, PPnBM diadakan untuk memberi rasa keadilan dalam masyarakat. Namun, Yustinus memaklumi alasan pemerintah menghapuskan PPnBM, yakni untuk meningkatkan daya beli masyarakat. "Tapi banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan hal itu," kata Prastowo.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat mengusulkan penghapusan PPnBM untuk barang-barang impor yang sudah bisa diproduksi dalam negeri. Tujuannya untuk menggairahkan industri dalam negeri. (baca:Target Penerimaan Perpajakan 2014 Direvisi)
Dengan dihapuskannya PPnBM diharapkan bisa mendongkrak tingkat konsumsi sehingga produksi bisa meningkat. Saat ini, beberapa barang impor seperti alat pendingin ruangan, televisi, kulkas, mesin cuci, pakaian mewah masih dikenakan pajak PPnBM yang kisarannya antara 10-40 persen.
INDRI MAULIDAR
Berita Terpopuler
Trik SBY Agar Tak Kena Tilang Polisi
Newmont Resmi Gugat Pemerintah ke Arbitrase
Diminta Pilih Nomor Satu, Maher Zain Pilih Senyuman