TEMPO.CO, Jakarta - Miroslav Klose. Dunia sepak bola bisa belajar banyak dari penyerang Jerman ini. Ia adalah pemain lengkap dengan sederet kehebatan, juga rekor, di belakang namanya. Namun, yang lebih penting dari itu, ia merupakan sosok langka di lapangan hijau karena kejujurannya.
Klose, pemain kelahiran Polandia berusia 36 tahun, akan menorehkan rekor baru bila diturunkan Jerman saat melawan Brasil dalam laga semifinal mendatang. Ia akan jadi pemain pertama yang mampu tampil dalam empat semifinal Piala Dunia, setelah melakukannya pada 2002, 2006, dan 2010.
Rekor itu akan menambah deretan keunggulan Klose di lapangan. Ia sebelumnya mencetak satu gol saat Jerman ditahan Ghana 2-2 di babak penyisihan grup pada 21 Juni lalu. Gol itu merupakan yang gol ke-70 Klose buat Jerman, yang kian mengukuhkannya sebagai pencetak gol terbanyak Jerman. Dengan gol itu, ia juga menyamai rekor Ronaldo (Brasil) sebagai top scorer Piala Dunia dengan total 15 gol.
Tapi kehebatan dan rekor-rekor seperti itu mungkin bukan deskripsi yang paling pas untuk menggambarkan sosok pemain ini. Sebab, rekor-rekor itu akhirnya akan pecah seiring dengan munculnya bintang-bintang baru. Justru ada sisi luar biasa dari Klose yang mungkin tak akan mudah disamai oleh pemain lain: kejujurannya yang muncul secara konsisten di lapangan.
Pada 29 April 2005, ketika masih membela Werder Bremen di Bundesliga Jerman, Klose tampil melawan Arminia Bielefeld. Dalam laga itu, ia dijatuhkan di kotak penalti, sehingga Bremen pun mendapat hadiah penalti. Ketimbang segera mengambil bola dan melakukan eksekusi penalti itu, Klose justru mendekati wasit. Ia meminta sang pengadil membatalkan penalti itu karena kiper Arminia sudah lebih dulu menangkap bola sebelum melanggar dia.
Dalam kedudukan 0-0, penalti itu akhirnya dibatalkan wasit. Tapi Klose menebusnya beberapa menit kemudian. Ia mencetak gol dan mengantar Bremen menang 3-0.
Pada 26 September 2012, kejujurannya kembali muncul ketika bermain untuk Lazio di Liga Italia. Saat berlaga di kandang Napoli, Klose berhasil mencetak gol dengan memanfaatkan umpan dari sepak pojok. Gol itu disahkan wasit, tapi diprotes pemain lawan karena dianggap dilakukan dengan tangan.
Bila Klose diam saja, gol itu mungkin bisa jadi versi "hand of God" selanjutnya, seperti yang dilakukan Diego Maradona pada 1986. Tapi pria ini justru terus terang mengakui bahwa bola itu ia jebloskan ke gawang dengan tangan, sehingga wasit pun langsung menganulirnya.
Kejujurannya itu langsung disambut tepukan di bahu oleh pemain lawan. Pelatih dan pemain Lazio juga memujinya, meski mereka harus menerima kenyataan pahit: kalah 3-0 di laga itu. Dalam tahun yang sama, asosiasi sepak bola Jerman memberinya penghargaan fair play.
Bagi Klose, tindakannya itu bukanlah hal yang istimewa. "Bagi saya, hal itu adalah hal yang semestinya dilakukan. Ada begitu banyak anak muda yang duduk di depan televisi menyaksikan pertandingan, dan kami harus memberi contoh yang baik," katanya. "Bagi saya, itu hal yang harus selalu dilakukan. Dan saya akan melakukannya lagi, selalu."
Sikap seperti itulah yang menempatkan Klose setingkat di atas pemain lain. Ia adalah oasis bagi sepak bola modern yang kian digerogoti sikap menghalalkan segala cara untuk menang.
Kita melihat, para pemain dewasa ini seperti berlaga sambil membungkam nurani dan kejujuran. Meski ia adalah yang terakhir menyentuh bola sebelum meninggalkan lapangan, pemain itu dengan penuh semangat mengacung-acungkan kedua tangannya agar timnya yang mendapat lemparan ke dalam atau tendangan pojok.
Seabrek tindakan lain yang mencederai fair play bisa dengan mudah kita lihat, termasuk dalam Piala Dunia ini. Para pemain yang memilih mengulur-ulur waktu untuk menjaga kemenangan timnya, atau berpura-pura cedera. Atau praktek diving (pura-pura jatuh agar wasit memberi tendangan penalti untuk timnya) juga kian marak, bahkan sudah mencapai level meresahkan.
Yang menyedihkan, praktek-praktek lancung seperti itu sudah sangat umum terjadi, bahkan seakan-akan dilatih dengan sungguh-sungguh dan diinstruksikan dengan tegas oleh setiap tim kepada semua pemainnya. Di tengah pertandingan menarik sekalipun--yang ketat, dramatis, bahkan heroik--kita bisa melihat aksi-aksi tak jujur pemain yang terus saja muncul. Sepak bola dari sisi ini kemudian menjadi arena pergulatan tak berkesudahan antara wasit dan para pemain yang berusaha mengelabuinya.
Dalam konteks suram seperti inilah, Klose menjelma serupa mutiara. Ia contoh nyata bahwa masih ada nurani di lapangan sepak bola.
NURDIN SALEH (Wartawan Tempo)