TEMPO.CO - Semakin lama berada di Rio de Janeiro, kian banyak pula orang terkenal yang bertemu dengan Zico, salah satu legenda sepak bola Brasil. Saat beberapa hari Piala Dunia berlangsung, eks pemain hebat Italia, Fabio Cannavaro, dengan bangga nampang di media lokal Brasil bersama Zico. Bintang lainnya adalah Robin van Persie, pemain asal Belanda.
Sayang, Carlos Valderama, legenda Kolombia, kurang beruntung. Tapi dia cukup bangga bisa berfoto dengan patung Zico yang ada di stadion milik Flamengo--klub yang membesarkannya.
Yang terakhir adalah bintang UFC, Anderson Silva, yang juga mengidolakan si Mutiara Putih itu. Orang hebat di arena gebuk-gebukan itu juga bertemu di restoran mewah. Pada akhir pertemuan, Silva meminta tanda tangan Zico. Silva pun kemudian memamerkan pertemuannya itu di Instagram.
Ternyata saya lebih beruntung dibanding mereka sekalipun. Beberapa hari sebelum Piala Dunia dimulai, saya bertemu dengan Zico. Bukan di restoran atau hotel, melainkan di rumahnya, di Barra da Tijuca.
Seorang teman Brasil--yang dekat dengan Zico--menjanjikan saya bisa bertemu dengan sang legenda. Zico adalah pahlawan saya ketika masih kecil. Sebenarnya bukan hanya dia yang menjadi pemain hebat ketika itu.
Ada Grzegorz Lato, pemain asal Polandia, tapi saya kurang suka. Meski jago, pada usianya yang masih muda ketika itu, rambut Lato sudah habis. Kurang sip sebagai bintang. Zico sebaliknya. Sosok pemain ideal buat saya. Tampangnya cakep, bodinya ramping, dan mainnya hebat.
Pada Piala Dunia 1982, saya masih ingat betul ketika dia bersama pemain lainnya, seperti Socrates, memamerkan sepak bola yang kini dijauhi Brasil, yakni bermain dengan indah. Meski akhirnya mereka tersingkir karena kalah oleh Italia.
Pada hari yang dijanjikan, saya langsung menyiapkan semuanya. Termasuk spidol hitam. Tapi ternyata pertemuan itu gagal. Zico sibuk, katanya. Barulah keesokan harinya kesempatan itu datang. Tapi wawancara baru bisa dilakukan pada malam hari, selepas Zico sibuk dengan segala urusan Piala Dunia.
Meski mengaku tak sibuk, tempat pembibitan pemain mudanya, atau yang dikenal dengan Centro Futebol do Zico, dipakai menjadi salah satu penggemblengan fisik para wasit yang akan bertugas pada Piala Dunia. Sore harinya, saat bertandang ke sana, saya sempat diusir petugas FIFA yang saya kira agak lebay sikapnya.
Malam harinya, di perumahan mewah di kawasan Barra da Tijuca, Zico pun menerima saya dan kawan-kawan Brasil saya. Rupanya dia sudah menunggu kami, dan dia pun terpaksa celingukan mencari kami yang berada di pojok lain rumahnya yang besar itu. Saking besarnya, sebuah lapangan sepak bola ada di salah satu sudut rumahnya. Kami pun berbincang santai.
Pada akhir pertemuan, Zico membubuhkan tanda tangannya pada kaus kuning khas Brasil pemberiannya. Malam itu, dan beberapa hari setelahnya, saya merasa tak berbeda dengan Robin van Persie, Cannavaro, Silva, dan orang-orang terkenal lainnya.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JAINERO)