TEMPO.CO, Bekasi - Pemerintah Kota Bekasi menjamin pendidikan gratis bagi siswa miskin. Kini, pemerintah sudah mengalokasikan dana sebesar Rp 10 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2014 khusus bagi siswa miskin.
"Bagi yang tak diterima di sekolah negeri, jangan khawatir," kata Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu kepada Tempo, Selasa, 8 Juli 2014. Penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri sudah ditutup sejak Sabtu pekan lalu. Kuota yang diterima sekitar 30 persen dari lulusan tahun ini.
Syaikhu mengatakan sekolah swasta mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat, provinsi, dan daerah. Rincian semuanya: sekolah dasar Rp 60 ribu, sekolah menengah pertama (SMP) Rp 84 ribu, dan sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat Rp 125 ribu. "Subsidi itu bagi seluruh siswa, baik miskin maupun yang kaya," kata Syaikhu.
Namun, dia menambahkan, khusus bagi siswa miskin, dana yang disiapkan mencapai Rp 10 miliar. Jumlah tersebut diyakini mampu mencakup 2.500 siswa di wilayah setempat. "Parameter yang berhak mendapatkan dana tersebut ialah siswa yang masuk dalam program Keluarga Harapan," ujar Syaikhu.
Syaikhu mengatakan dana khusus siswa miskin tersebut disiapkan terkait dengan pelaksanaan PPDB secara online 100 persen. Pasalnya, sesuai dengan kurikulum, jumlah rombongan belajar di sekolah negeri tak boleh melebihi kapasitas daya tampung.
Karena itu, apabila ada sekolah swasta yang tak mau menerima siswa miskin, pemerintah bakal memberi sanksi tegas. Sanksi tersebut bisa saja berupa pencabutan izin operasional sekolah. "Kami sudah menjalin kesepakatan dengan BMPS (Badan Musyawarah Perguruan Swasta)," kata dia.
Juru bicara BMPS Kota Bekasi, Syahroni, mengatakan beberapa hari setelah pendaftaran di sekolah negeri ditutup, pendaftar di sekolah swasta sudah mulai terlihat. Artinya, kata dia, sekolah swasta bakal mendapatkan siswa sesuai dengan daya tampung. "Kami, sekolah swasta, siap bekerja sama dengan pemerintah," kata dia.
Ia berharap pemerintah konsisten menerapkan sistem PPDB online 100 persen. Pasalnya, penerimaan secara manual lebih cenderung mengalami kecurangan. Akibatnya, jumlah rombongan belajar mengalami overload. Dampaknya, sekolah swasta kehilangan siswa. Bahkan, dua tahun lalu ada sekolah yang tutup.
ADI WARSONO