TEMPO.CO - Setiap orang bisa bermain sepak bola, tapi agar hebat perlu bakat. Ada satu syarat lain bila tim nasional ingin bermain pada putaran final Piala Dunia: hari ini, pilih presiden yang tepat.
Soal bakat sepak bola, saya percaya Indonesia memiliki anak-anak yang gocekannya akan menandingi Ronaldo, lincah seperti Neymar, cepat tanggap seperti kiper Neur. Dengan jumlah penduduk 240 juta-sepertiganya anak-anak-kita pasti bisa mendapatkan bibit penuh bakat untuk membentuk satu atau sepuluh tim sepak bola berkualitas dunia.
Bakat itu dibentuk sejak ketika nenek moyang kita masih menjadi pemburu. Untuk berburu di hutan tropis, nenek moyang kita perlu menyelinap dengan gesit di sela pepohonan yang lebat. Matanya awas melihat bola-eh, hewan buruan. Indranya mewaspadai bahaya yang mungkin mengintai. Bila nenek moyang kita gagal mengembangkan kemampuan ini, mereka kelaparan. Lalu punah. Kita adalah keturunan nenek moyang yang berhasil melewati ujian itu.
Penelitian memastikan, nenek moyang kita mewariskan kemampuannya melalui gen. Adapun bakat merupakan hasil dari persekutuan sejumlah gen. Bakat itu terkait dengan, misalnya, kemampuan melihat ruangan yang lebih baik yang penting untuk mengoper bola dengan tepat, melewatkan bola di antara kaki lawan, atau menendang bola ke celah sempit yang tak terjaga kiper. Saya kira Klose memiliki kelebihan ini.
Bakat itu berkaitan juga dengan gen penghasil testosteron-hormon yang membuat makhluk hidup agresif. Orang Indonesia punya itu. Buktinya? Tak perlu jauh-jauh, amati saja banyaknya serangan haters terhadap para calon presiden, terutama kepada Jokowi. Puasa bahkan tak sanggup menurunkan limpahan testosteron itu!
Seorang ilmuwan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman-saya tak bisa menyebutkan nama karena belum meminta izin-menduga bakat sepak bola juga terkait dengan mitokondria. Ini karena mitokondria adalah "pabrik" energi di dalam sel tubuh. Pabrik energi yang berkapasitas besar memastikan produksi energi yang besar.
Pabrik energi ini terhubung dengan kapasitas volume oksigen maksimal (VO2Max). Kapasitas VO2Max menentukan sekuat apa atlet bisa bermain. Cuma 45 menit atau hingga peluit terakhir ditiup wasit. Meski tak gampang menemukan pemain berbakat dengan VO2Max besar, toh banyak anak Indonesia memilikinya. Rata-rata pemain U-19, misalnya, memiliki VO2Max hingga 55, tergolong superior bagi pemain berusia 13-19 tahun.
Kaptennya, Evan Dimas, bahkan punya VO2Max 60. Evan, menurut pelatihnya, Indra Sjafri, ibarat mobil ber-cc besar dengan tangki bensin besar. "Dengan teknik tinggi, dia jadi lebih efektif mainnya. Dengan modal fisik yang prima, Evan tidak kesulitan untuk menjelajahi area lawan. Bensinnya tidak boros dan cara membawanya juga benar," kata Sjafri.
Tapi bakat bukan satu-satunya syarat sukses. Pemain bola juga harus tinggi. Inilah yang tidak dimiliki Indonesia. Rata-rata tinggi badan pemain sepak bola di Indonesia di bawah 175 sentimeter. Padahal Professional Football Players Observatory, dalam laporannya tentang demografi pemain sepak bola di Eropa, melansir tinggi badan pemain sepak bola di benua itu kini di atas 180 sentimeter dan akan terus menjulang. Laporan lembaga ini juga menunjukkan, dalam sepak bola, postur tubuh yang tinggi itu baik, dan lebih tinggi lebih baik.
Lihatlah empat tim yang tersisa pada semifinal Piala Dunia kali ini. Rata-rata tinggi pemain Jerman 184 cm, Brasil 183 cm, Belanda 181 cm, dan Argentina 178 cm. Tim Brasil, ketika memenangi Piala Dunia pada 1994, adalah tim dengan tinggi rata-rata paling menjulang.
Ada tim hebat dengan rata-rata pemain berpostur pendek: Spanyol atau klub Barcelona. Banyak pula pemain boncel terkenal. Misalnya Lionel Messi (169 cm) dan dulu Maradona. Namun, untuk berhasil, tantangan mereka lebih sulit karena harus mengkompensasikan kelemahan fisiknya dengan menjadi lebih cepat, lebih gesit, atau sekadar lebih terorganisasi. Tapi bahkan di Spanyol, pemain bola rata-rata lebih tinggi daripada pria di negerinya.
Soal tinggi badan ini, maaf, bukan bakat. Ini cuma urusan gizi. Orang Eropa dulu pendek juga. Makanan kaya nutrisilah yang membuat mereka menjadi tinggi-besar. Sebuah penelitian menunjukkan tinggi rata-rata orang Eropa telah naik 11 cm dalam satu abad terakhir. Orang Jepang dulu disebut kate oleh kakek-nenek kita. Kini mereka sudah bertambah tinggi melebihi tinggi rata-rata orang Indonesia.
Orang Indonesia memang lambat bertambah tinggi. Pada 2010, rata-rata tinggi badan anak laki-laki usia 5 tahun lebih rendah 6,7 m dari tinggi seharusnya. Dari 10 negara di Asia Tenggara, postur orang Indonesia terhitung paling pendek. Menurut penelitian tahun lalu, anak balita bertubuh pendek mencapai di atas 30 persen. Mereka tersebar di 28 provinsi, dari 34 provinsi yang kita punya.
Jelaslah, sebelum berani bermimpi mengirim tim nasional ke putaran Piala Dunia, kita harus membenahi lebih dulu soal asupan gizi itu. Menurut Soccernomics, faktor gizi, GDP per kapita, selain riwayat prestasi, memainkan peran dalam prestasi sepak bola sebuah negara. Itu semua tentu saja hanya bisa dipenuhi jika kita punya presiden yang tepat.
Selamat memilih.
YOSEP SUPRAYOGI (Wartawan Tempo)