TEMPO.CO, Rio de Jainero - Setelah dua pekan berada di Rio de Janeiro, akhirnya saya tepar alias tumbang. Flu tidak saja membuat hidung mampat, tapi tulang-tulang di sekujur tubuh juga terasa ngilu. Hawa dingin yang masih meliputi Rio--yang katanya masih masuk musim dingin, dengan suhu dalam kisaran 16 derajat Celsius dan pola makan yang berubah plus akibat perjalanan selama 26 jam di udara--membuat tubuh mudah dihajar virus.
Sialnya, ternyata obat yang dibawa dari Tanah Air bukan obat flu yang biasa diminum. Akibatnya memang kurang cespleng. Tak ada jalan lain, kecuali mencari obat di sini, meski sebenarnya juga rada kurang yakin. Tapi usaha tetap usaha. Siapa tahu obat buatan di sini lebih cocok ketimbang obat dalam negeri yang ikut terbang ke Brasil.
Mencari obat di sini tidaklah semudah di Jakarta, yang tinggal masuk ke toko serba ada atau ke warung sebelah. Di sini tidak ada toko serba ada atau super mercado alias supermarket yang menjual obat. Satu-satunya cara, ya, pergi ke drogaria alias toko obat resmi.
Brasil ternyata tidak seperti yang banyak diceritakan dan diberitakan media. Semula yang saya dengar, karena sama-sama merupakan negara berkembang, keadaannya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Jakarta.
Saya sempat kecele ketika pergi ke tempat makan. Saya membayangkannya sama dengan di Jakarta. Pasti tukang parkir akan segera datang dan berteriak-teriak mengatur parkir. Nyatanya tidak ada tukang parkir di sana. Tapi siapa pun tidak boleh sembarangan memarkir kendaraannya.
Di sini segalanya berjalan dengan aturan yang jelas. Tak hanya dalam soal membeli obat, tapi juga dalam hal lainnya. Membeli roti pun harus antre. Saya sempat malu sendiri saat padaria atau toko roti kosong, saya langsung menyelak untuk membeli roti. Ternyata di depan saya ada dua orang yang tengah menunggu giliran. Oh, sorry, maaf, kata saya.
Aturan lain pun diterapkan dengan ketat. Jangan harap bisa naik bus kalau tidak punya uang. Hingga uang berpindah tangan ke sopir, bus itu tidak akan jalan. Kecuali ada orang yang berbaik hati membayari, silakan turun.
Pun saat mengemudikan kendaraan. Seorang teman Brasil saya terpaksa kena tilang ketika dia menyadari lupa memasang seat belt. Padahal, saat itu sudah malam. Tapi aturan tetap dijalankan. Polisi memeriksa dan memberikan surat tilang. Tak ada ampun. Sejak kena tilang itu, kami yang berada dalam kendaraan tersebut terpaksa terikat seat belt masing-masing. Rada sesak memang, tapi tak apalah daripada kena masalah lagi.
Nah, kembali ke soal toko obat. Ternyata juga banyak aturannya. Selain banyak ditanya, satu hal yang bikin kesal, obat yang saya beli harus sekotak penuh, yang isinya mencapai 24 butir. Padahal, mungkin dengan tiga hari saja flu saya bisa reda. "Tapi aturannya begitu," kata teman Brasil saya. Saya pun terpaksa taat aturan. Uang 60 real saya tarik dari dompet dan obat segera berpindah tangan.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JAINERO)