TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menyatakan dua perusahaan negara yakni PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) masih enggan melakukan hedging atau lindung nilai terhadap valuta asing atau kurs.
"Mereka minta kejelasan yang sangat jelas supaya tidak terjadi temuan BPK atau temuan kejaksaan di kemudian hari," kata Dahlan, Sabtu, 12 Juli 2014.
Menurut Dahlan, keengganan proses hedging kedua perusahaan pelat merah itu karena pertimbangan hukum semata. Saat ini kegiatan bisnis keduanya banyak menggunakan subsidi BBM dan listrik dari negara. Sedangkan aturan mengenai hedging menggunakan uang dari subsisi belum ada. "Untuk keperluan subsidi kemudian fee-nya siapa yang bayar karena subsidi dari negara," ujarnya. (Baca: Dahlan Kembali Minta BUMN Lakukan Hedging)
Dalam prosesnya, lanjut Dahlan, hedging akan menimbulkan biaya layaknya premi asuransi. Pembayaran ini semestinya ditanggung negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). "Apakah boleh uang perusahaan membayar fee yang itu (hedging), fee itu harusnya ditanggung oleh APBN," ujarnya.
Karena belum adanya aturan tersebut, maka dipastikan beban dalam proses hedging kedua perusahaan milik negara itu, secara otomatis ditanggung mereka. "Jadi misalnya besar subsidi X ditambah fee untuk hedging itu, keinginan dari teman-teman karena ini menyangkut status hukum uang itu," ujarnya.
Pemenang konvensi calon presiden dari Partai Demokrat itu mengakui jika hedging dilakukan kedua perseroan, maka pemerintah bakal memperoleh keuntungan yakni tidak melonjaknya beban subsidi saat kurs dolar melambung. "Nah penurunan yang dibayarkan negara ini dibandingkan dengan fee itukan bisa dihitung," katanya. (Baca: Kuatkan Rupiah, BI Desak BUMN Lakukan Hedging)
Untuk menyiasati hal itu, ujar dia, ia berencana mengajukan keringanan menggunakan APBN untuk aktivitas hedging semua perusahaan BUMN yang menggunakan subsidi. "Ini menunggu rakor berikutnya dengan Menkeu (Menteri Keuangan)," ujarnya.
Meskipun demikian, lanjut dia, dari seluruh perusahaan negara yang menggunakan banyak valuta asing dalam bisnisnya, beberapa di antaranya justru telah memulai melakukan lindung nilai alias hedging. "Kemarin ada 4 atau 5 yang hedging tapi justru yang besar-besar yang belum," ujarnya.
JAYADI SUPRIADIN
Berita lainnya:
Dahlan Iskan Copot Komisaris Penggagas Obor Rakyat
Proyek Trans Sumatera Dimulai 9 Oktober 2014
Tarif Listrik 132 Ribu Pelanggan di NTT Naik