TEMPO.CO - Saya pun harus pulang. Itu pertanda, saya tidak akan merasa seperti orang sesak napas lagi. Udara di Rio de Janeiro--sejak Mei, ketika saya pertama kali datang--memang sangat dingin dan sempat membuat saya terkena flu berat. Tapi bukan itu yang membuat saya sesak napas.
Orang-orang di Brasil memiliki pengucapan huruf yang berbeda dengan kebanyakan orang, termasuk dengan orang-orang Indonesia.
Ketika saya mengajak mereka berbincang tentang pemain Brasil yang memilih menjadi pemain negara lain, mereka seperti malas menanggapinya. Tapi saya cuek saja dan langsung bertanya pendapat mereka tentang Pepe--pemain Brasil yang bermain untuk Portugal.
Ternyata, mereka tidak mengenal nama itu. Saya kaget, jangan-jangan ini karena mereka kesal kepada pemain itu, yang memilih bermain untuk negara lain. "Pepe, pemain Real Madrid," kata saya.
Obrolan kami akhirnya nyambung. "Pepi," katanya. "Ah, dia tidak terlalu bagus. Kalau memilih bermain untuk Brasil, dia tidak akan terpilih."
Rupanya memang ada sedikit "halangan" antara saya dan teman-teman Brasil ini. Selain karena Pepe yang disebut mereka dengan nama Pepi, masih banyak yang lainnya.
Saat ditanya siapa pemain Brasil yang menjadi favorit, saya pun sempat menjawab dengan menyebutkan Ronaldo. Sontak mereka pun bingung. Lalu meminta saya untuk mengulangi lagi. Jawaban saya, tetap saja: Ronaldo.
Barulah mereka paham. "Fenomeno," ujar salah seorang dari mereka. Ronaldo memang lebih terkenal dengan sebutan "The Phenomenon" yang melekat pada namanya sejak muncul pertama saat bermain di Sao Cristavao, klub pertamanya. Tapi, bukan Ronaldo yang mereka sebut, melainkan Honaldo.
Nama-nama Brasil yang lain kemudian terasa asing di kuping saya. Mereka menyebutkan Homario, lalu Honaldinho. Bahkan Neymar pun disebutkan dengan kata Nehmar. Kali ini, barulah saya yang paham.
Rupanya mereka menyebut huruf "r" dengan bunyi "h". Sebenarnya tak beda dengan orang Belanda yang membaca huruf "g" dengan bunyi seperti huruf "h".
Sedikit masalah benar-benar datang ketika beberapa teman Brasil memanggil nama saya. Nama saya yang ada di KTP elektronik berbunyi "Irfan", tapi tiba-tiba terdengar: "Ihfan".
Di telinga saya, nama saya terdengar seperti keluar dari orang yang memanggil saya dengan napas tercekat. Apalagi saat diulang karena saya tak mendengarnya. "Ihfan, Ihfan," kata mereka.
Barulah saya menengok dan memastikan napas teman saya itu benar-benar aman. Sambil berkemas-kemas pulang, saya pasang kuping benar-benar agar mereka cukup memanggil saya sekali saja.
Terlalu sering mereka memanggil, belakangan saya yang merasa sesak napas.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JAINERO)