TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar ahli pidana Universitas Padjajaran, Romly Atmasasmita, menilai lembaga survei yang melakukan pembohongan publik bisa dijerat dengan pasal berlapis. "Kalau lembaga survei mengganggu kepentingan publik ya bisa dipidanakan. Tidak hanya UU ITE, polisi bahkan bisa menggunakan UU KUHP ataupun UU Pemilu," ujar dia ketika dihubungi Tempo, Ahad, 13 Juli 2014.
Romly menyebut bahwa polisi membutuhkan hasil dari sidang kode etik yang dilakukan Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mengenai proses hitung cepat yang dilakukan lembaga survei untuk proses pemeriksaan. "Sesudah sidang kode etik lembaga survei selesai, polisi dapat melihat secara jelas pelanggaran yang dilakukan lembaga survei," ujar dia. (Baca: 4 Lembaga Survei Pemilu Siap Dipanggil Polisi)
Sebelumnya, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta melaporkan empat lembaga survei soal kebohongan informasi kepada publik. Empat lembaga survei tersebut adalah Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), Jaringan Suara Indonesia (JSI), dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis).
Tindak pidana yang dilaporkan oleh PBHI ini adalah penyebaran informasi yang sesat, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik dan Pasal 28 ayat 1 Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. (Baca: Lembaga Survei Tak Taat Metode Bisa Dihukum Pidana)
Lebih lanjut, Romly, yang merupakan mantan Dirjen Adminstrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan HAM ini, menilai lembaga survei dapat dijerat dengan UU Pemilu karena lembaga survei tersebut melakukan hitung cepat saat pemilihan presiden 2014. "Pemilihan Umum 2014 kan masih berlangsung sampai pelantikan presiden terpilih," ujar dia. (Baca: Audit 7 Lembaga Survei Digelar Pekan Depan)
AMOS SIMANUNGKALIT
Terpopuler:
KPK: DPR Tak Mendukung Pemberantasan Korupsi
Main Sinetron Lagi, Deddy Mizwar Dinilai Tak Etis
Ternyata Mencium Bau Kentut Ada Manfaatnya