TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie mengatakan akan menghormati keputusan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang ingin membawa bukti kecurangan-kecurangan dalam pemilu presiden 9 Juli lalu ke Mahkamah Konstitusi. "Ya, kita hormati saja karena UUD memang menyediakan jalan konstitusional untuk itu," ujarnya melalui pesan elektronik kepada Tempo, Senin, 21 Juli 2014.
Menurut dia, proses pengajuan gugatan pilpres ke MK memang tidak ideal, tetapi proses tersebut jangan direndahkan karena UUD telah mengaturnya. Gugatan ke MK, kata Jimly, merupakan proses meredakan rasa kecewa melalui jalan terhormat, yakni persidangan terbuka, objektif, adil dan tidak memihak. "Kita harus menghargainya," ujar Jimly.
Tim advokasi Prabowo-Hatta mengajukan permohonan kepada KPU untuk menghentikan rekapitulasi suara. Permohonan untuk menghentikan rekapitulasi suara itu didasarkan pada rekomendasi Badan Pengawas Pemilu. Tim advokasi juga menuntut diselenggarakannya pemungutan suara ulang (PSU) di 5.814 tempat pemungutan suara di Jakarta. (Baca juga:Beda Pendapat Ibas-Pohan soal Demokrat ke Jokowi)
Selain itu, tim advokasi juga menuntut digelarnya PSU di enam kabupaten/kota di Jawa Timur, seperti di Surabaya, Sidoarjo, Malang, Batu, Jember, serta Banyuwangi. Tim advokasi juga siap menjadikan kecurangan-kecurangan yang mereka temukan sebagai alat bukti untuk persidangan di MK.
Menurut Jimly, jika pemimpinnya (Prabowo atau Joko Widodo) berinisiatif untuk tidak mengajukan perkara (gugatan ke MK), tentu bisa lebih cepat meredakan ketegangan. "Salah satu tanggung jawab pemimpin ialah untuk menenangkan pendukungnya masing-masing," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
GANGSAR PARIKESIT
Berita lainnya
Relawan Jokowi-JK Subang Emoh Geruduk KPU
JK: Prabowo Kalah karena Gol Bunuh Diri
Tim Prabowo: Kinerja Penyelenggara Pemilu Buruk
Mahfud: Kami Tunggu Pengumuman KPU