TEMPO.CO , Jakarta:Kinerja maskapai penerbangan Garuda Indonesia, diperkirakan masih tetap tertekan hingga akhir tahun. Menurut Sekretaris Umum Forum Komunikasi Certified Securities Analyst (FK CSA) Reza Priyambada, tertekannya kinerja Garuda disebabkan oleh gencarnya ekspansi yang dilakukan oleh maskapai pelat merah ini. "Saat ada tambahan rute baru atau pesawat baru, biaya pemeliharaan pesawat dan pembelian avtur akan meningkat," kata Reza, Selasa 22 Juli 2014.
Di sisi lain bisnis maskapai penerbangan tak menjanjikan keuntungan dalam jumlah besar. Marjin amat tipis untuk maskapai berbiaya murah. Ketatnya persaingan akan membuat laba perusahaan tergerus. "Seperti Citilink (anak usaha Garuda) yang bermain di low cost," ujar Reza.
Baca Juga:
Meski demikian, ekspansi yang dilakukan Garuda dalam jangka akan bagus untuk maskapai ini. Apalagi ketika jumlah kelas menengah naik signifikan.
Ihwal wacana penjualan saham Citilink kepada investor, Reza mengatakan sebaiknya tidak terburu-buru. Dia beralasan, hal ini membutuhkan banyak pertimbangan termasuk waktu dan porsi saham yang akan dilepas. Pemilihan waktu yang salah dikhawatirkan akan membuat harga yang ditawarkan tidak optimal.
Garuda mencatatkan rugi usaha sebesar US$ 233,91 juta pada semester pertama tahun ini. Padahal di semester sebelumnya, perusahaan plat merah ini membukukan keuntungan sebesar US$ 14,31 juta. Selain itu, jika dibandingkan dengan kuartal I 2014 lalu, kerugian GIAA juga meningkat. Pada kuartal I lalu, kerugian maskapai internasional tersebut hanya US$ 164 juta. (baca juga : Mau Dijual, Kinerja Citilink Indonesia Membaik)
Baca Juga:
Menurut Vice President Communication PT Garuda Indonesia Tbk., Pujobroto, kinerja semester I banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global yang belum pulih. Hal ini menyebabkan menurunnya jumlah penumpang internasional.
"Depresiasi rupiah juga berpengaruh terhadap pendapatan Garuda karena biaya operasional sebagian besar dilakukan dalam dolar," kata dia melalui pesan singkatnya kepada Tempo, Selasa, 22 Juli 2014.
Depresiasi rupiah tersebut, kata Pujobroto, berpengaruh pula terhadap daya beli masyarakat. Selain itu tingginya harga bahan bakar mangakibatkan biaya operasional naik drastis.
Pada situasi normal, biaya bahan bakar mencapai sekitar 25 persen dari keseluruhan biaya operasional. Saat harga bahan bakar naik, biayanya meningkat mencapai 30-40 persen. Dalam satu tahun, Garuda menggunakan bahan bakar hingga 1,8 miliar liter.
Pujo menjelaskan bahwa momentum pada semester pertama merupakan 'low season'. Artinya momentum penumpang untuk melakukan perjalanan lebih rendah bila dibandingkan dengan semester dua. Pasalnya, banyak momemtum liburan, seperti lebaran, natal, dan tahun baru di semester depan.
ANANDA PUTRI | DEWI SUCI RAHAYU
Berita Terpopuler
SBY Berhentikan Kepala Staf TNI AD
Berita Potong Kelamin, Ahmad Dhani ke Dewan Pers
Saran Ahok Buat Jokowi Usai Pengumuman Pilpres
Umat Kristen Irak Diminta Pindah Agama
Begini Kantor Jokowi Sebelum Pengumuman Pilpres